Tanto menyesal. Kalau tahu akan begini jadinya sejak awal lebih baik dia tidak menceritakan hal sesungguhnya kepada Suyanti, istrinya.
Setahuku dia figur ayah dan suami yang sempurna. Itu sebabnya, aku sangat terkejut saat dia bercerita bahwa Suyanti menuduhnya berselingkuh dengan Aina.
Wajar, sih. Soalnya, Aina itu sungguh cantik, seksi, dan ramah pula. Memang, dia sudah pernah menikah, tapi beban berat kehancuran pernikahan sama sekali tak mampu merusak kualitas kewanitaannya. Tak heran, kalau itu bikin Suyanti cemburu. Tapi fakta yang Tanto sampaikan berikutnya membuatku seperti terlempar ke luar angkasa, lalu kejedot meteor.
“Jadi, Aina itu mantan pacarmu pas kuliah, To?”
Tanto mengangguk tanpa meninggalkan kesibukannya di depan kap mesin mobilku yang terbuka. Aku dan Sari, istriku, merencanakan touring mengelilingi Pulau Kemiri pada long weekend minggu depan. Jadi, di hari Minggu ini aku minta bantuan Tanto untuk memeriksa kondisi kesehatan mobil.
“Ternyata, ya...,” gumamku kehilangan kata sebab ternanap benar-benar.
Kehidupan lelaki lempang ini rupanya tak semonokrom itu. Dia punya mantan pacar yang bermutu tinggi. Hasil penilaian selama delapan tahun bertetangga dengannya adalah dia manusia berpikiran tersimpel, terlurus, dan terjujur yang pernah kukenal. Bahkan Andre, tetangga yang dekat dengan kami juga, berpendapat lebih sadis lagi tentang Tanto.
“Batu yang kita duduki ini, Bang Cak, pasti punya pengalaman lebih menarik dari hidup Mas Tanto.”
Andre mengatakan itu saat kami memancing di Danau Sijernih di bawah kaki Bukit Simangkuk. Angin semilir mengantar pendapat tendensius itu ke telingaku. Pria yang rumahnya berada di antara rumahku dan Tanto itu kesal karena ajakan mancingnya selalu ditolak.
Tanto memang jarang mau ikut-ikutan kegiatan di luar rumah dengan kami. Aku, sih, tak keberatan dengan sikap Tanto itu. Tidak semua orang suka kegiatan kumpul-kumpul atau bepergian seperti yang sering dilakukan aku dan Andre, kan?
Jika dibandingkan dengan petualangan hidupku dan Andre, ya, memang benar hidup Tanto sangat membosankan. Sehabis Subuh, dia naik bus menuju tempat kerjanya di Kota Baru. Dia salah satu teknisi mobil mewah andalan BestCarService, bengkel terbaik di kota kecil ini. Jam lima sore adalah jam dia pulang. Jam pulang ini memang terkadang bisa molor sampai larut malam. Namun, itu pun karena ada panggilan perbaikan mobil dari rumah-rumah pelanggan. Bukan karena kumpul-kumpul dengan teman-temannya sehabis bekerja. Katanya lebih baik menemani Divania dan Larisa, kedua anak remajanya mengerjakan PR. Atau dia merasa lebih senang menyusun stoples-stoples sambal, produk rumahan karya istrinya, sembari bertukar cerita tentang kegiatan mereka seharian. Di hari libur, dia membawa keluarganya jalan-jalan ke Kota Baru atau berkegiatan di rumah saja. Begitu terus.
Tanto tegak dari tunduknya, menghadapku, dan menggeleng. “Ekspresimu, Cak, Cak! Kayak itu istimewa aja. Biasa itu, lah. Semua orang juga punya masa lalu.”
Menghela napas, gantian aku gemas sama ekspresinya sekarang. Datar.
“Ini masalahnya kita sedang membicarakan Aina, To. Aina! Itu perempuan di usia segini aja masih seger ‘kali. Apalagi dulu waktu masih kau pacari, To! Pasti..., oh.” Aku sendiri tak sanggup meneruskan bayangan liarku.
Tanto membungkuk, mencari-cari sesuatu di koper peralatannya. Setelah dapat, dia kembali mengutak-atik mesin mobil. “Sembilan belas tahun yang lalu Aina, ya, biasa aja, Cak. Masih lugu, nggak ngerti dandan kayak sekarang. Yaaa, pokoknya biasa ajalah.”
Aku masih tidak terima Aina dibilang perempuan biasa saja. Pikiran terlalu flat Tanto itu yang mungkin menerjemahkan secara keliru seorang Aina menjadi sosok biasa saja.
“Bohay begitu, kok, dibilang biasa, sih!”