Aku marah tentang dua hal kepada Sari. Satu, dia menyembunyikan sesuatu dariku. Dua, dia mendukung orang yang berbuat salah.
Tempat curhat orang, memang nama tengah istriku. Karena dia sangat mudah bersimpati dan amat peduli pada permasalahan orang lain. Kalau membantu pun selalu tanpa pamrih. Ditambah lagi, dia hebat menyimpan rahasia jika sudah berjanji. Ciri-ciri yang bukan kepalang perfect-nya untuk dijadikan konsultan rumah tangga. Namun, sebenarnya dia juga punya sisi gelap. Dia tak sesabar itu wabil khusus menghadapi suaminya. Darahnya tinggi, gulanya naik, asam lambungnya bergejolak kalau menemukan kesalahan-kesalahanku walaupun itu sekecil bayi bakteri. Jadi, pada intinya, akulah yang berjasa membuatnya jadi sebijak itu di antara para tetangga di sepanjang blok ini. Kukasih makan egonya di rumah, sehingga tak mengganas kelaparan di luaran sana. Ayo, ibu-ibu kompleks, it’s time to say thanks to me!
“Tapi merahasiakan sesuatu sama suamimu itu dosa, Sar....”
Meskipun marah, aku berusaha menekan nada bicaraku. Sari tidak bisa dikerasin. Dia akan berubah menjadi Hitler atau Westerling atau monster atau macan, atau apa pun hal seram lain—terserah dia saja, lah—jika dia mendapatiku sedang marah padanya.
“Aku udah janji sama Mbak Yanti, Bang.” Selesai menggelung rambut gelombangnya, perempuan yang kucintai ini menarik gelas kopi punyaku. Dia menyeruput isinya sambil menatapku. “Abang marah?”
Lah? Kelopak mata segera kuturun-naikkan, sesaat setelah sadar kalau sedari tadi aku memandanginya, mungkin pun sambil melotot. Tatapan mendelik dan beku itu pasti yang membawanya pada kesimpulan 'aku marah'. Kalau boleh jujur, itu memang benar adanya, sih.
“Enggaaak,” sahutku cepat.
“Jadi, kok, liatin aku kek gitu?” Sari mengambil dan mengunyah kue keju. Tadi kue itu tak sempat dicicipi Tanto.
“Bukan marah, cuma ngingetin aja. Jangan diulangi lagi, Dek. Nggak boleh kek gitu. Aku harus tahu semua yang kau tahu. Supaya kalau ada masalah, aku juga bisa ikut bantu.”
“Iya, Bang. Sekarang, kan, aku kasih tahu. Lagian, awalnya aku pikir ini urusan perempuan, Bang. Nggak penting juga aku sampaikan ke Abang.”
“Kalau udah sampe hampir membahayakan orang begitu, seharusnya kau itu mikir, De—”
“Lah!” potong Sari dengan nada naik, naik ke puncak gunung, tinggi, tinggi sekali. “Aku, kan, nggak tahu kalau bisa sampai kek gini ceritanya, Bang!” Dia telah beralih rupa sangat cepat dari Si Sari Imut Manja Berkepang Dua ke mode Siluman Rambut Jigrak Api Berkobar.
Yaaah, salah ngomong dah gue.
“Justru,” lanjutnya, “karena aku merasa ini udah kelewatan, makanya aku cerita sama Abang sekarang. Kok, aku malah dimarahin?”
Aku tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ini kebijakan internalku demi stabilitas rumah tangga. Bisa dikatakan semacam standar operasional menghadapi Sari. Kupandangi pakai tatapan seteduh hutan tropis wajah perempuan imut dengan kepala sekeras batu karang Pantai Hijau ini.
Padahal, betapa ingin mulut ini menyemprotnya dengan kata penuh murka. Kalau tidak lantaran aku duluan menyinggung fakta yang baru diketahui dari Tanto, belum tentu Sari tergugah menceritakan rahasianya dengan Suyanti sekarang.