Tetangga Keempat

Yunita R Saragi
Chapter #3

Mobil Merah di Dekat Hutan

Kalau lagi rukun, aku dan Sari itu kayak best friend foreva banget. Dia teman yang enak diajak ngobrol. Apalagi jika obrolannya semenarik teori kemungkinan hubungan gelap Tanto dan Aina. Buktinya berjam-jam kami nongkrong di kafe mall, mengurai fakta-fakta, tak terasa bosan sedikit pun. Bahkan sesekali Sari memekik saking girangnya bergosip dengan suami sendiri.

Saat mau pulang, secara random, Sari mengusulkan nonton bioskop di jadwal midnight show. Sekali-sekali, katanya. Kalau aku, sih, menduga mood secemerlang ini dikarenakan dahaganya akan 'hot gossip' telah pun paripurna. Sebagai partner gibah terasyiknya malam ini, mungkin dia sengaja menghadiahkan padaku kegiatan romantis bak masa pacaran dulu. Jadi, sel-sel kecerdasan dalam otakku segera mengirimkan sinyal penting sebagai berikut, 'jangan kau rusak dengan mengatakan tidak'. Padahal sebenarnya aku sangat enggan.

Akhirnya, pukul satu malam kami masih membelah hutan lindung yang mengapit jalan pulang. Kota Baru, tempat satu-satunya mall besar di sini telah kami tinggalkan sekitar empat kilo meter di belakang sana. Sebentar lagi, jalanan akan menanjak dan berliku. Perumahan Bukit Mawar Indah, tempat kami tinggal, ada di atas Bukit Simangkuk.

Rumah-rumah tinggal di Distrik Jaya Baru memang kebanyakan berada di perbukitan yang mengelilingi Kota Baru. Dari rumah-rumah penduduk di atas perbukitan, Kota Baru jadi semacam lembah yang sisi utaranya berakhir di garis pantai biru kehijauan. Di seberang laut sana ada Pulau Kemiri yang rencananya minggu depan akan kami telusuri.

Mobil hampir sampai di gerbang perumahan. Pemandangan Kota Baru dari atas sini sangat indah. Lampu-lampu di kota seperti intan berlian di dalam sebuah mangkuk raksasa.

Suasana di gerbang penjagaan sangat sepi. Ada pos Satpam di antara dua portal. Portal kiri untuk jalur masuk, yang kanan untuk keluar. Dari sini perumahan belum terlihat. Sebagian hutan bukit asli yang dibiarkan utuh—malah dirawat—mengelilingi areal kompleks. Cahaya kekuningan dari lampu-lampu jalan yang pecah di antara rimbun pepohonan, menenangkan juga menguarkan aroma romantisme. Suka sekali aku dengan suasana tempat tinggalku ini.

Biarpun penghuni kompleks punya kartu akses keluar-masuk masing-masing, Satpam tetap ada untuk berjaga-jaga di posnya. Saat kubuka jendela, sayup suara program televisi dari pos jaga menjalar masuk telinga.

“Nih, Bang.” Sari menjulurkan kartu. Langsung kuambil.

Aku menempelkannya di sebuah alat pemindai. Saat warna merah berubah hijau dan berbunyi bip, palang terbuka sendiri. Di pos, seorang Satpam tampak tertidur dalam keadaan duduk dengan separuh tubuh menelungkup di atas meja.

“Itu Si Garuda, ya, Dek?” kataku lalu mengerem mobil setelah sepenuhnya melewati portal. Besi penghalang itu langsung menutup sendiri.

Sari membalikkan badannya dan meneliti ke arah pos.

“Iya, keknya.”

“Tidur aja kerjanya.” Aku membuka pintu.

“Mau ke mana, Bang?”

“Bangunin dia, lah!”

Kututup pintu. Ketika berjalan selangkah, aku balik lagi.

“Dek, ke siniin kopi punyaku tadi.”

Sari memutar-mutar kepalanya sebentar, mencari keberadaan cup sekali pakai bermerek kedai kopi terenak di Kota Baru. Ternyata dia menaruhnya di jok belakang. Dia menarik satu cup dari sarang penyangga cup.

“Baiknya suamiku,” katanya yang langsung tahu niatku untuk berbagi kopi pada Satpam ngantuk itu.

Aku tersenyum saat mengambil cup dari tangan perempuan yang semakin cantik dengan lipstik merah darah di sinar sendu begini. Matanya berkedip-kedip menahan kantuk teramat sangat. Dia menguap.

Satu tangan kuselusupkan di kantung celana. Kopi masih hangat. Memasuki pos, aku meletakkan gelas kopi di atas meja. Kupegang bahu Garuda dan kuguncang pelan.

“Gar, bangun.”

Lihat selengkapnya