Ketika terpindai dari kejauhan sebuah mobil Polisi parkir di depan pagar rumah Aina, jidatku mengernyit. Kupercepat langkah agar segera tuntas penasaran ini. Sebaliknya, kupelankan langkah ketika sampai di depan rumah Aina. Tatapan penuh rasa ingin tahuku tak lepas-lepasnya mengawasi rumah itu. Tidak terlihat siapa-siapa. Pintu rumah memang terbuka. Namun, dari jarak ini apa pun di dalam sana tak akan tampak. Kecewa.
Mobil putih Aina masih di posisi sama seperti terakhir kali kulihat. Satu mobil sedan silver yang kuketahui punya Aisha, adik Aina terparkir di seberang jalan. Dia memang hampir setiap hari berkunjung ke sini.
“Bang!” Cepat aku menoleh ke sumber suara.
Sari melambai padaku dengan wajah tak menyenangkan di balik pagar rumah Tanto.
“Ada apa di rumah Aina, Dek?”
“Masuk dulu, Bang!”
Aku melewati pagar dan saat itu melihat Yanti duduk cemas di teras. Diva dan Risa mengintip dari celah pagar pembatas rumah mereka dan Aina. Mereka memanjat kursi. Dua remaja tanggung itu saling mendorong memperebutkan celah yang paling strategis untuk mengintip. Aku menggeleng setelah kaget saat Risa hampir terjatuh terdorong kakaknya.
“Katanya Kak Ai hilang, Bang,” lapor Sari.
“Hilang? Hilang gimana?”
“Ya, hilang. Tadi siang Aish ke sini karena katanya mbaknya itu nggak bisa dihubungi. Sampai di sini rumah dalam keadaan nggak terkunci dan posisi mobil nggak seperti biasanya. Tapi anehnya rumah dalam kondisi rapi. Gitu, kan, Mbak kata Aish tadi?” Sari menoleh pada Yanti.