Ini hari Kamis. Artinya sudah tiga hari Aina belum juga diketahui keberadaannya. Kabarnya, Aish dibantu Polisi telah mengecek pelabuhan, bandara, bahkan terminal bus untuk memeriksa sekira Aina keluar dari distrik ini. Namun upaya ini tak memberikan hasil yang diinginkan. Tidak ada di mana pun seseorang bernama Aina Prameswari terdaftar dalam perjalanan ke mana pun.
Aish—kali ini dibantu Tanto juga—rampung menempelkan foto Aina di mana-mana. Upaya penyebaran foto secara online turut pun dilakukan. Pokoknya segala cara ditempuh Aish.
Suasana kompleks tiba-tiba ikut muram. Terutama beberapa rumah yang dekat dengan rumah Aina. Rumah itu sendiri, kini telah dipasangi garis polisi. Semua benda-benda tetap harus berada dalam kondisi sedia kala sejak ditinggalkan Aina sampai masalah ini menemukan titik terang. Padahal akhir minggu ini seharusnya atmosfernya membahagiakan. Karena besok tanggal merah dan kantorku meliburkan hari Sabtu juga. Sore ini menurut rencana sedia kala, aku dan Sari akan ikut penyeberangan kapal feri jadwal terakhir menuju Pulau Kemiri. Namun, entahlah Sari sepertinya tidak bersemangat lagi.
“Masa iya, Bang, kita pergi bersenang-senang sementara tetangga dekat kita lagi ada masalah gini, Bang. Lagian, kan, polisi udah pesan, kita-kita tetangga terdekat jangan bepergian dulu.”
Hari Selasa malam, dua orang polisi datang ke sini. Salah satunya merupakan penyidik yang ditugaskan untuk kasus ini. Reyaga, namanya. Orangnya masih muda, sekitar awal-awal tiga puluhan tahun. Namun, dia punya wibawa dan cara bicara teratur, sopan, tapi tegas, sehingga membuat yang mendengar menjadi segan. Pertanyaannya sangat banyak. Mulai dari bagaimana hubungan kami dengan Aina, bagaimana hubungan Aina dengan tetangga-tetangga sini, dan apa yang kami lakukan pada malam Senin kemarin, perkiraan waktu hilangnya wanita ramah itu.
Aku dan Sari disuruh menceritakan semua. Awalnya, aku mewanti-wanti Sari agar aku saja yang menjawab pertanyaan para polisi itu. Khawatirnya, Sari menceritakan apa yang harusnya tidak perlu diceritakan. Namun, sepertinya Reyaga lebih tertarik bertanya kepada Sari. Akhirnya, semua diceritakan Sari dari A sampai Z.
Syukurnya Sari bisa mengendalikan dirinya untuk tidak bercerita bahwa tetangga-tetangga di sini sebenarnya membenci Aina. Terutama Yanti. Dia mampu mengerem mulutnya. Teror-teror itu berhasil disimpannya. Istriku ini ternyata tidak seceroboh yang kupikirkan. Kalau itu dia katakan, aku tak bisa membayangkan bagaimana Yanti yang bertindak karena dasar cinta dan cemburu itu akan diseret-seret ke masalah ini. Aku menduga, Sari pasti takut, kalau itu dia ceritakan, dia bakalan terikut juga.
Satu hal yang tak bisa kami elakkan untuk diceritakan adalah tentang mobil Tata parkir di dekat hutan kompleks. Akhirnya informasi ini membawa polisi terus memburu keluarga Andre. Bolak-balik Reyaga berkunjung ke rumah itu. Atau terkadang Tata dan Andre yang harus mampir ke kantor polisi. Ada juga rasa bersalah yang terbit di hatiku dan Sari juga.
“Kasihan Kak Tata sama Bang Andre, ya, Bang. Mereka jadi capek. Bukan salah mereka berselisih paham di malam yang sama dengan waktu hilangnya Kak Ai.”
“Iya, aku juga merasa bersalah udah menceritakan yang bagian itu. Tapi kalau semua kita tutup-tutupi, takutnya polisi malah curiga sama kita.”