Deru mobil polisi menjauh, otomatis menyiram padam rasa penasaran Sari terhadap sikap anehku—menurutnya. Kalau kataku, sih, biasa saja. Aku cuma kehilangan mood, gara-gara semua rencana gagal total. Tak ada hubungannya sama sekali dengan raibnya Aina dari kompleks. Emang dia siapa? Apa pun kecurigaan yang muncul di kepala Sari, dipastikan semuanya tak mendasar.
“Polisi udah pulang tuh!” pekik Sari, menaikkan satu jarinya. Matanya melirik ke atas karena memusatkan pendengaran terhadap suara mobil pergi dari rumah Tata.
Belum sempat secuil pun menyicipi makanannya, Sari menutup boks lekas-lekas. Persis di saat itu, aku bersyukur dalam hati sambil sibuk mengumpul-ngumpulkan nasi, sambal, dan secuil paha ayam tapi tak kumakan-makan jua. Kali ini aku beruntung, lepas dari potensi amukan macan.
“Bang, aku antar ini dulu, ya?” pamitnya lalu berdiri dan mengangkat plastik berisi empat boks ayam panggang.
“Tunggu, biar kita antar sama-sama. Abang juga pengin tahu kabar mereka!”
Selera makanku tiba-tiba hilang. Aku beranjak menuju wastafel untuk mencuci tangan dengan sabun. Rumah ini tanpa sekat, dari sini aku bisa melihat Sari sedang berjalan duluan ke pintu depan. Dia mencari-cari alas kakinya di rak. Aku membayangkan, apa jadinya kalau dia melakukan ini ketika sepatuku belum kubersihkan kemarin, ya?
Selesai mencuci tangan, bergegas kubuntuti Sari. Selagi dia mendorong pagar, aku mengunci pintu depan. Kuncinya kukantungi. Namun, tiba-tiba aku merasa kikuk sendiri. Kok, ada rasa tak enak berjumpa Andre dan Tata dalam kondisi begini, ya? Biasanya, aku dan Andre ketemu dalam suasana senang-senang. Semisal, saat memancing, kemping, hiking, atau diving sesekali. Ini pasti akan canggung.
Di sisi lain, aku semakin penasaran, sejauh apa sebenarnya mereka terlibat dengan misteri hilangnya Aina ini? Kok, polisi bolak-balik mendatangi mereka? Benarkah mereka hanya sedang bertengkar suami istri di waktu dan tempat yang salah? Mudah-mudahan itu memang benar. Semoga aku bisa menghilangkan praduga pada hatiku saat di depan mereka nanti. Agar otak liarku ini tak membayangkan yang buruk-buruk. Kuyakinkan diri, Tata dan Andre, keduanya orang baik. Terlepas dari Tata yang kurang suka bergaul di kompleks ini. Nyatanya sepanjang pengetahuanku, dia tidak pernah melakukan hal buruk apa pun pada orang lain.
Polisi baru saja beberapa detik yang lalu berangkat dari rumah keluarga Andre-Tata. Namun pagar sudah dikunci. Pintu depan tertutup rapat seolah sebelumnya tak ada kejadian apa-apa. Lampu ruangan memang masih menyala, itu artinya mereka belum naik ke lantai dua untuk tidur.
Meskipun satu kompleks, tapi model rumah-rumah di sini berbeda. Beberapa rumah telah dimodifikasi. Di barisan ini, hanya dua rumah yang masih berbentuk model asli, rumahku dan rumah Aina. Aku dan Sari belum membutuhkan perombakan. Kami masih tinggal berdua saja. Tuhan belum memberikan kami keturunan meski sudah menginjak sembilan tahun pernikahan. Lagipula, kalau mau macem-macemin rumah, dananya memang belum ada.
Sari memencet bel. Sekali, tunggu. Dua kali, tunggu. Di kali ketiga, tampak sosok Andre menyibak tirai jendela dan mengintip keluar—kebiasaannya jika ada tamu. Beberapa detik kemudian pintu depan membuka. Lelaki rajin nge-gym dengan badan tegap proporsional ini berjalan mendekati pagar. Terdengar bunyi gemerincing kunci di tangannya.
“Wuah, bawa apa itu, Sar?” tanyanya sambil membuka gembok.
“Sedikit... untuk makan malam Abang, Kak Tata, dan anak-anak,” jawab Sari sambil mengangkat bungkusan lebih tinggi.
“Loh, kok, bisa pas? Kami baru aja mau pesan makanan delivery. Lapeeerrr!”
“Alhamdulillah kalau begitu.” Sari tersenyum lebar. Aku yakin dia sangat bangga dengan idenya ini.
“Tapi anak-anak nggak di rumah, kami titipkan di tempat neneknya,” kata Andre lagi.
"Oh, kelebihan, dong?” Sari nyengir. “Nggak apa, deh, bisa buat sarapan.”
Andre tersenyum dan mendorong pagar agar terbuka lebih lebar. “Yok, masuk, Sar.”
“Bang.” Andre juga mengangguk padaku, mempersilakan.
“Mmm.” Aku menahan langkah. “Tadinya kami memang pengin mampir dan ngobrol sebentar, tapi keknya kami pulang aja, lah. Kalian pasti udah capek ‘kali, kan?”
Sari memandangku dengan tatapan ‘apa yang kau katakan?’. Aku tahu Sari punya maksud besar di balik ayam panggang ini. Selain memang benar, dia itu punya perhatian yang tulus, dia juga butuh info fresh dari tangan pertama tentang kasus Aina ini. Akan tetapi kuamati pria berkaus abu-abu dan bercelana pendek ini benar-benar lagi kacau. Kasihan, jika harus kami ganggu lagi malam-malam begini.
“Enggak, Bang. Masuk ajalah. Aku juga butuh nyegerin kepala ni. Aku yakin ngobrol sama Abang lebih enak dibanding dengan penyidik tadi. Haha.” Andre mencoba berkelakar. Dia mengekeh. Itu membuat rasa canggungku perlahan lenyap. Andre saja masih bisa tertawa—meski kecut—di situasi kayak begini, masa aku yang jadi tegang?
Aku dan Sari membalas dengan tawa seringan gula kapas. Tawa menghargai. Kami pun masuk. Sari pasti lega. Wajah semringahnya saat memasuki rumah itu ingin kututupi plastik anti-radiasi cahaya. Soalnya kayak disinari lampu jauh truk gandeng. Silau. Atau versi indahnya kayak diterangi cahaya surga. Tergantung dari mana kita melihat motivasi sari, memberi ayam panggang atau mengumpulkan info terbaru Aina. Istriku, istriku suka bikin gemas sekaligus gregetan.
Tata berada di dapur ketika kami tiba. Dia juga terlihat sama kacaunya dengan Andre. Rambut lurus sebahunya dia biarkan tergerai berantakan. Dia masih memakai baju kerjanya: rok di bawah lutut dan kemeja krem. Tubuh wanita tiga puluh tujuh tahun ini masih langsing—bahkan cenderung kurus ceking—meskipun sudah melahirkan dua anak. Sari sering julid terhadap anugerah Tata ini. Makan banyak tapi tetap langsing. Terpaksalah, untuk menenangkannya aku selalu katakan dia itu empuk dan lebih cantik. Kalau Tata, biarpun langsing tapi pasti teksturnya terlalu garing. Biarlah menjelekkan istri orang demi membahagiakan istri sendiri. Sudah begitu, tetap saja Sari tak terima.
“Kerupuk itu garing tapi enak, Bang. Sebaliknya, ada yang empuk tapi menjijikkan. Kotoran! Ish!”
Astaga. Padahal otaknya yang salah mencari perbandingan, aku juga yang kena cubit. Nasiiibbb.
Tata garing-garing chrispy menaikkan kaca mata saat menatap kami dan tersenyum.
“Aku bawakan makanan, Kak!” Sari langsung menghambur ke dapur mereka dan meletakkan bungkusan itu di meja makan.
Sementara aku, dipersilakan duduk di ruang keluarga oleh Andre. Di meja, ada asbak penuh puntung rokok. Tiga cangkir bertatakan, isinya endapan bubuk kopi.
“Anak-anak lagi nggak di rumah, ya, Kak?” Kudengar Sari berbasa-basi sambil mengeluarkan paket nasi ayam dari bungkusan. Bunyi gemeresek plastik mewarnai percakapan mereka.
“Iya, kondisi lagi begini. Aku nggak mau anak-anak terganggu psikologinya. Hampir tiap malam polisi datang. Kayaknya itu nggak bagus buat anak-anak.”
Tata melempar pandang ke arah kami.
“Papa mau makan sekarang?” Dia bertanya pada suaminya.
“Iya, iya! Udah laper berat!” Andre menjawab sebelum mengalihkan pandangannya padaku. “Abang udah makan? Yuk, sekalian makan. Itu yang aturannya untuk anak-anak kita makan sama-sama aja.”