Untuk soal tidur, Sari sangat serius. Dia tak pernah menjadikan peristiwa seaneh apa pun sebagai alasan untuk tak lelap. Sekarang, dia mendengkur dalam irama teratur dan halus di sampingku. Sementara, aku belum bisa tidur. Sedari tadi kegiatanku hanya scrolling hape, dari satu situs ke situs lain, dari satu media sosial ke media sosial lain. Padahal sudah hampir jam dua pagi. Untung besok libur, jadi aku bisa tidur sampai siang. Itu pun kalau nanti akhirnya aku bisa memejamkan mata.
Sebuah situs berita online, memberitakan Aina. Tak asing aku dengan senyum manis dalam foto yang terpampang di sana itu. Kini statusnya adalah orang hilang. Di mana kau sekarang, Ai? Kenapa kehadiranmu yang baru sebulan di kompleks ini telah menyebabkan begitu banyak perubahan? Sebelumnya, kompleks ini, khususnya barisan rumah di blok ini tidak pernah mengalami kejadian di luar kebiasaan. Kehadiranmu bagai memberi madu dan racun sekaligus. Keramahanmu membuat kau gampang diterima sekaligus gampang dibenci.
Benci? Bisa dibilang Sari juga tidak terlalu suka padamu. Sari tidak suka cara manjamu memanggil ‘Bang Cakra’. Padahal, kau juga memanggil semua orang dengan nada manja yang sama. Bukan salahmu punya nada bicara seperti itu. Ada orang yang memang dilahirkan dengan kemampuan seperti itu. Aku katakan itu kemampuan, karena memang mampu menarik perhatian banyak lawan jenis. Kau itu seperti bunga. Bunga yang terlalu mekar. Bunga yang keterlaluan, baik wangi dan warnanya.
Tak hanya pernah kulihat kau berdua bersama Tanto, aku juga pernah melihatmu di Kota Baru—di Kafe Brotherhood tepatnya—minum kopi bersama Andre.
Aina, di mana pun kau berada sekarang, kuharap kau sudah tenang. Karena memang, di sini kau tak akan menemukan ketenangan. Aku yakin itu. Cantikmu itu berbisa.
“Uhuk! Uhuk! Uhuk!”
Batuk Sari membuatku terlonjak. "Auch!" Hapeku jatuh dari tangan dan meluncur tepat ke batang hidungku. Ya, ampun sakitnya. Kuelus-elus batang hidung korban kekagetan diri sendiri. Sembari menggamit hape durhaka, aku memutar badan ke arah Sari.
Kuusap rambutnya. Batuk keras seperti ini tak 'kan mampu membuatnya terjaga. Dia hanya menggeliat sebentar dan kembali mendengkur dengan halus serta teratur.
***
Bunyi dengungan vacum cleaner membangunkanku. Aku menyipit. Begitu membuka mata, sinar matahari berlimpah ruah dari jendela kamar yang terbuka lebar. Aku mengangkat kepala. Masih sambil memicingkan mata, kulihat Sari menyodok-nyodok vacum ke kolong tempat tidur untuk membersihkan debu di bawah sana.
“Udah bangun, Bang?” tanyanya tanpa menghentikan kegiatannya.
“Jam berapa ini, Dek?” Suaraku serak.
“Udah jam sepuluh,” jawabnya.
Aku bangkit dan menguap. Kutinggalkan Sari bersama kesibukannya untuk menyelesaikan urusanku di kamar mandi. Seperti biasa, aku membawa hape. Terasa nikmat duduk lama-lama di WC sembari mengecek berita hari ini.
Sekira dua puluh menit berlalu, di mana Sari juga sudah selesai dengan kegiatan bersih-bersihnya, samar-samar kudengar orang memanggil-manggil. Aku mendengarkan lebih saksama. Sepertinya itu suara Tata. Dia memanggil Sari dengan cara tak biasa. Tata itu sepengetahuanku lembut. Tidak pernah berbicara sekuat ini. Segera kubersihkan diriku.
Tok! Tok! Pintu kamar mandi diketuk.
“Bang! Cepet, Bang!”
Itu suara panik Sari. Pertanda ada yang tak beres, nih. Aku bergegas membuka pintu.
“Ada apa, Dek?”
“Ayok, Bang ke rumah Bang Tanto, Mbak Yan ngamuk!”
Tanpa memedulikan reaksiku, Sari berbalik dan berjalan keluar kamar. Aku membuntutinya sambil membetulkan celana pendekku.
“Loh, tapi tadi malam Yanti dibawa ke rumah sakit!”
Kami sedang membelah ruang tengah sekarang untuk menuju pintu depan.
“Kak Tata bilang jam sembilan tadi mereka udah sampai rumah lagi,” jelas Sari tanpa menoleh. “Diva sama Risa tadi ke rumah Kak Tata minta tolong sambil nangis-nangis. Mereka kayaknya syoklah, baru kali ini melihat bundanya begitu.”
Istriku sempat mengambilkan sandalku di rak dan melemparkannya di depan kakiku, sebelum menggamit miliknya sendiri.
“Maksudnya begitu kekmana, Dek?” Dengan cepat aku memakai sandal dan keluar rumah. Kini aku berjalan duluan, Sari mengunci pintu.
“Ya, aku nggak tau, Bang. Ini mau kita lihat. Kak Tata cuman jelasin sampai segitu.”
Sari berdiri menunggu saat aku menggeser pagar. Pagar terbuka, kami berdua bergegas keluar. Dengan langkah sangat lebar, rumah Andre dan Tata dilewati. Yang pasti suami istri itu ada di rumah Tanto sekarang. Semakin dekat dengan rumah keluarga Tanto, semakin kami bisa mendengar teriakan Yanti.
“Ya, ampuuun!” Demi mendengar teriakan itu, Sari berlari.
Aku sendiri merasa tak percaya kalau itu suara Yanti. Namun, ketika aku melangkah masuk, kulihat Yanti sedang kelojotan ingin lepas dari cengkeraman Tanto di tangan kiri dan Andre di tangan kanannya. Saat mata dan otakku mengonfirmasi bahwa wanita berteriak-teriak dengan wajah memerah di sana adalah Yanti, aku baru yakin.
Aku menutup pintu. Supaya tak lebih banyak lagi tetangga yang datang. Diva dan Risa menangis. Tata mendekap kedua remaja ketakutan itu. Sari perlahan mendekat dan berjongkok di depan Yanti yang seperti orang kesurupan. Tangan Sari menjulur.