“Aku kubur Aina di sana!”
Kata petunjuk dari Yanti ini, akhirnya membuatku sekarang mencengkeram pacul. Kugali dengan rasa penasaran memuncak, tempat yang tadinya memang mau digarap Tanto. Sekarang aku paham apa alasan Tanto hendak mengorek tanah ini tadi. Dia percaya bahwa Yanti tak melakukannya. Dia hendak membuktikan bahwa tidak ada apa pun yang ditanam di sini. Dan, dia ingin kami menjadi saksinya.
Sebenarnya kami—mugkin tepatnya aku sendiri, karena belum tahu pendapat yang lain—juga tak percaya dengan pengakuan Yanti barusan. Terlalu aneh dan susah masuk di akal. Tapi, jika memang kami menemukan sesuatu di dalam tanah ini sekarang... Ah, aku tak ingin membayangkan dulu.
Perlahan-lahan sekali aku mencangkul tanah. Takut-takut, jikalau memang benar ada sesosok tubuh di dalamnya. Tubuh Aina pula.
Mengelilingiku, Sari dengan wajah ngeri; Tanto memeluk Yanti yang terus terisak; Tata yang melipat tangan dan mengigiti kukunya; serta Andre yang tampaknya baru saja bergabung. Entah dari mana dia sebelumnya.
Sementara, Diva dan Risa tak kuizinkan mendekat. Namun, aku tahu. Kedua remaja itu mengintip dari jendela kamarnya di lantai atas. Jendela kamar mereka kebetulan menghadap ke taman belakang ini.
Sudah hampir setengah meter aku menggali. Namun apa pun belum ditemukan. Semakin ke bawah, tanah semakin keras. Tak mungkin jika hanya lima hari yang lalu baru digali, lalu sekarang tanah menjadi sangat keras. Jadi, aku memutuskan berhenti menggali.
“Nggak ada apa-apa, tuh!”
“Gali lagi, Bang Cakra,” pinta Yanti. “Dia ada di dalam. Ada di dalam.”
“Nggak mungkin, Yan,” kataku sambil meletakkan cangkul dan menepuk-nepuk tanganku untuk membersihkan dari kotoran yang menempel. “Tanahnya keras. Sama sekali nggak gembur kayak tanah yang baru digali beberapa hari yang lalu.”
“Nah, kan, Sayang. Kau dengar? Yang ini sedikit gembur karena minggu kemarin aku memang rapikan bedengan untuk tanaman.” Tanto mendekap istrinya itu.
Sebuah liang kosong menganga di depan kami semua. Yanti menggeleng-gelengkan kepala terus, seakan menangkis-melempar pendapat kami agar tak masuk ke kepalanya. Memang, tak ada sama sekali tubuh siapa pun tertanam di situ. Bangkai tikus pun tidak. Apalagi manusia.
“Sudah, Sayang. Kau harus percaya. Kau itu nggak bikin apa pun sama Aina,” bujuk Tanto dan menarik kepala istrinya itu ke dadanya.
“Aku butuh minum!” kataku agak kesal karena merasa kayak dikerjai oleh pengakuan gila Yanti.
Meninggalkan mereka, aku beranjak ke dapur. Bagai rumah sendiri, kuambil gelas dan mengisinya dengan air dingin dari dispenser. Kuminum cepat kemudian kutampung air kembali. Tak sangka di hari yang seharusnya dinikmati di tepi pantai Pulau Kemiri yang indah, aku malah didapuk menjadi tukang gali dadakan. Mana panas mentari menjelang pukul dua belas siang ini sungguh garangnya.
Sari menghampiriku, persis ketika kutenggak habis isi gelas kedua. Dia mengambil gelas kosong dari tanganku dan menuju dispenser untuk mengisi minumnya sendiri. Tata menyusul masuk persis di belakang Sari. Tangannya bersidekap seperti orang kedinginan padahal cuaca sungguh gerah. Mulutnya terkunci sangat rapat. Wajahnya kering dan layu. Pandangannya seakan kosong. Andre lain lagi. Gestur tubuhnya justru tegak dan bersemangat. Beberapa kali dia menatap Yanti yang masih berjalan perlahan dipapah suaminya masuk.
Bunyi bel membuat kami tersentak. Saat itu semua sedang tenggelam dalam lamunan masing-masing. Belum mampu kami cerna kejadian barusan. Untuk apa Yanti mengaku telah membunuh Aina dan menguburkan di taman belakang rumahnya?
Wanita itu sekarang terlihat cukup tenang. Dia duduk di kursi meja makan dan diantarkan segelas air putih oleh Sari. Sementara Tanto sedang memijit-mijit pundaknya dari belakang seraya terus menerus meyakinkan bahwa istrinya tak melakukan apa-apa.
Bukan Tanto, melainkan Andre yang meluncur ke pintu depan untuk membuka pintu. Bahkan tanpa memeriksa siapa yang datang terlebih dahulu melalui jendela—seperti kebiasaannya kalau didatangi tamu. Seolah, dia sudah tahu benar siapa yang datang.
“Polisi!” kabarnya seusai menguak pintu cukup lebar.
Heran, aku mengernyitkan dahi.