Sari bersedia seratus persen saat kuajak berangkat ke Danau Sijernih. Tanto sebenarnya ingin sekali ikut. Tentu aku tahu, dia satu-satunya orang yang paling penasaran itu benar Aina atau tidak meskipun tak dikatakan. Pandangannya mengisyaratkan hal itu ketika aku dan Sari berangkat. Sayangnya, dia tak bisa ke mana-mana, dia harus menjaga Yanti.
Di dalam mobil, semua kata-kata yang disimpan Sari selama berada di bawah tekanan rasa takut di rumah Yanti, meledak.
“Ngeri! Ngeri ‘kali. Nggak bisa kubayangkan kalau memang benar-benar Mbak Yanti bunuh orang!” ucapnya berapi-api.
Aku menarik napas sambil memutar stir di tikungan menuruni perut Bukit Simangkuk sisi selatan menuju Danau Sijernih. Jalan menuju danau merupakan tanah berbatu-batu yang keras, berliku, dan menurun pula dengan jurang di salah satu sisinya, sehingga aku harus berkonsentrasi.
“Jadi, itu hasil analisismu dari tadi? Yakin kalau Yanti bunuh orang?” Aku bertanya tanpa menoleh padanya, terus melihat jalanan di depan.
Ekor mataku mendapati Sari memutar badan dan bergerak gelisah. Debas napasnya kutangkap sebagai sinyal frustrasi.
“Aku tadi berandai-andai, Bang!” jawabnya kesal, mungkin karena terpantik nada bertanyaku yang cenderung meremehkan hasil analisisnya. “Ya, pasti aku nggak percaya Mbak Yan melakukan itu, lah!”
“Hmmm,” responsku singkat.
“Terus, aku heran. Apa maksud Mas Tanto tentang hasil pemeriksaan Mbak Yan di psikiater? Mbak Yan terganggu kejiwaannya? Nggak ada yang aneh dari dia selama ini, kok!”
“Bisa jadi.” Kutanggapi singkat.
“Abang kenapa, sih?”
Rupanya Sari terganggu dengan sikap acuh tak acuhku kala membahas ini. Jujur, sebenarnya aku gugup. Aku sedang menyiapkan diri untuk melihat kenyataan bahwa yang sedang dievakuasi oleh orang-orang di bawah sana memang mayat Aina. Mobil-mobil polisi dan ambulan sudah tampak dari sini. Orang-orang menyemut di sekitarnya. Hanya tampak kepala-kepala mereka yang kecil dari atas sini.
“Kalau mayat di danau itu,” aku menunjuk dengan bibir, “kau percaya itu Aina?”
Saat kulirik, Sari sedang tercenung memandang ke keramaian di bawah sana. Dia menggeleng. “Jangan sampe. Aku berdoa, jangan sampe itu Kak Ai! Biarpun aku....”
Sari menjeda kalimatnya, membuatku sekilas memandangnya.