Terlalu syok sampai-sampai aku dan Sari berdiam diri cukup lama. Mulai di mobil sampai terduduk berdua di ruang makan, meminum teh melati hangat yang kubuat untuk menenangkan kami berdua. Hingga ponselku berbunyi dan tertera nama kontak ‘Sutanto Tetangga’ di sana, baru aku ingat sesuatu. Dia ingin aku segera memberi tahu informasi apa pun dari danau.
“Ya, To,” sapaku selepas menekan icon menerima panggilan, lalu menyentuh icon speaker, agar ponsel bisa kuletakkan saja di meja.
“Gimana, Cak?” Suara teredam Tanto menggema di ruangan yang sunyi ini. “Kalian udah sampe rumah, kan? Aku tadi lihat mobilmu.”
“Iya, iya, To. Kami udah sampe.”
Sari berdiri, mengangkat cangkir tehnya, dan berjalan ke ruang keluarga yang persis ada di depan meja makan ini.
Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya sebelum lanjut bicara, “Aku masih berharap itu bukan Aina, To.”
Kulihat Sari menghidupkan televisi tapi dengan segera dia mengecilkan volumenya—menghormatiku yang sedang berbicara di telepon.
“Maksudnya gimana, Cak?”
“Mayat yang ditemukan udah nggak dikenali lagi, To. Meskipun ciri-cirinya mirip benar dengan Aina, tapi kalau belum ada pengumuman resmi dari kepolisian tentang identitasnya aku belum bisa pastikan kalau itu memang Aina. Gimana kondisi Yanti, To?”
“Dia, dia baik-baik aja. Kayaknya abis ngomong sama Reyaga tadi, dia jauh lebih tenang. Dia udah mau makan dan minum. Sekarang, tidur sama anak-anak di kamar setelah kukasih obat.”
Aku menimbang apakah sopan jika sekarang menanyakan sesuatu yang tiba-tiba saja terbit di kepala ini atau tidak. Namun, sepertinya tak apalah kutanyakan, karena toh Tanto sendiri sudah bersedia mengungkit itu duluan.