Tetangga Keempat

Yunita R Saragi
Chapter #12

Yanti Menghilang

Saat matahari sudah agak naik, Sari baru merasa nyaman sendirian ke sana kemari. Persis pukul tujuh pagi, kami duduk semeja tapi berlainan aktivitas. Ponsel sengaja kutinggal di kamar. Jadi, aku hanya menikmati kopi pagiku seraya memandangi Sari mengedit naskah di laptopnya. Terkadang, nikmat juga hidup tanpa hape. Sudah lama aku tidak pernah lagi memandangi wajah istriku sedalam ini. Terutama sebulan belakangan ini.

Cahaya matahari dari jendela menyorot langsung ke wajah serius Sari. Beberapa helai rambutnya terjatuh di depan matanya. Rambut itu berkilau kuning kecokelatan. Di bibir merah jambu itu, cahaya juga membias, hingga membuatnya punya mulut kayak terbuat dari keramik merah jambu. Dia hanya egois. Selebihnya, dia adalah perempuan sempurna. Tiba-tiba perasaanku seakan dipenuhi carian hitam yang membuatku sesak.

Saat Sari tampak hendak mendongak, aku cepat menunduk. Pura-pura mengambil cangkir kopiku dan meminumnya.

“Bang, apa mungkin orang biasa kayak kita-kita begini, bisa bebas melihat barang bukti kejahatan yang udah disimpan polisi?” tanyanya.

Aku tercekat. Pertanyaan itu, untuk apa? Kuletakkan cangkir perlahan sambil menelan kopi. Untung tak tersedak. Di momen itu aku baru sadar, pasti itu tentang naskah yang sedang dia edit.

Cepat-cepat kujawab, “Mungkin aja, asal alasannya tepat dan bisa bantu polisi buat menuntaskan kasus, kenapa enggak?”

“Oh, oke!” katanya mengangguk-angguk sambil membetulkan posisi duduknya.

Sari kembali menatap laptopnya. Aku mengusap kepala dan kemudian daguku.

“Emang itu naskah tentang apa, Dek?” tanyaku.

“Tentang laki-laki yang membunuh selingkuhannya. Sekarang, cerita perselingkuhan lagi banyak penggemar. Mungkin, karena memang lagi marak juga, ya, Bang di kehidupan nyata. Jadi pembaca banyak yang merasa relate, nggak pun terjadi pada dirinya sendiri, bisa jadi tetangganya, atau saudaranya, atau teman sekantornya. Ya, kan?”

“Iya.... Mungkinlah. Eh, Dek! Mumpung matahari belum terlalu tinggi, aku jogging bentar, ya. Badan udah nggak enak, dah lama nggak olah raga.”

“Ya, Bang, jangan lama-lama, ya. Aku masih nggak nyaman sendirian di rumah,” pesannya.

Aku pun segera beranjak sesegera mungkin. Khawatir, Sari berubah pikiran.

***

Jogging track hutan perumahan, di sini aku berdiri, memandang sekeliling. Malam Senin lalu, Andre dan Tata ada di sekitar sini. Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Tali karmantel biru yang melilit mayat Aina itu....

Aku melanjutkan lariku, lambat-lambat saja. Mataku mencari-cari apa yang bisa menjadi petunjuk. Di track beton, di semak-semak, di pepohonan, semuanya. Entah mengapa aku yakin hutan ini ada hubungannya dengan kematian Aina. Lima meter ke depan, track bercabang dua. Satu menuju lintasan yang arahnya memutar di antara pepohonan dekat-dekat sini saja. Satu lagi bisa tembus sampai ke Bukit Pinus. Aku pilih yang kedua. Nanti di Bukit Pinus, akan ada jalan memotong ke Danau Sijernih. Jalannya memang agak terjal. Aku dan Andre sering memakai jalur itu saat sedang kemping di Bukit Pinus kalau ingin memancing esok paginya.

Tak kutemukan hal aneh apa pun sejauh ini. Mungkin karena aku terlalu banyak disapa dan menyapa orang-orang jogging yang rata-rata memang saling kenal, sehingga tidak terlalu fokus.

Hingga pada akhirnya....

Penglihatanku ini benar, kan? Itu yang duduk di bangku kayu di sana adalah Tanto, kan? Ngapain dia? Dia jarang ke sini. Bagian diri Tanto, paling hanya Diva dan Risa bersama anak-anak kompleks sebaya mereka yang pernah main di sini. Kalau bapaknya bisa dibilang tidak pernah.

Nah, ini baru aneh.

“To!” pekikku.

Dia cergas menoleh. Wajahnya kusut sekusut-kusutnya. Dia pasti baru bangun tidur dan belum sempat membasuh wajahnya. Dia menggunakan celana pendek putih khasnya, kaus abu-abu, dan sandal jepit. Dia tersenyum sekadarnya sambil mengangkat tangan.

Aku ada di dekatnya tak lama kemudian.

“Ngapain, To?” tanyaku lantas mengambil duduk di sebelahnya.

Lihat selengkapnya