Yanti sepucat hantu yang terkulai di sandaran sofa, ketika Tanto dan aku tiba. Baju tidur putihnya belepotan tanah. Kedua kakinya berselimut lumpur kering. Risa menggenggam tangan bundanya sambil memandang wajah wanita itu penuh rasa iba. Tatapan Yanti sendiri entah ke mana. Entah perasaanku saja, tapi pipi Yanti seperti agak menyusut sangat signifikan dibanding seminggu lalu. Matanya mirip dua mulut gua gelap berdampingan.
Tanto langsung duduk di samping istrinya. Dia membelai kepala Yanti.
“Kamu dari mana aja, Sayang?”
Yanti tak menjawab. Diva muncul dari dapur dengan membawa teh hangat.
“Bun,” panggilnya dan duduk berlutut di depan Yanti.
Terlihat sekali mereka sangat mengkhawatirkannya.
"Minum tehnya, Bun. Biar hangat. Tuh, badan Bunda dingin banget,” kata Diva sambil menyentuh tangan Yanti.
Yanti melirik Diva. Dia mau merespon gadis itu. Beda ketika tadi saat ditanyai Tanto. Tangannya langsung menjulur. Cepat tanggap, Diva langsung mendekatkan gelas ke mulut ibunya itu untuk membantu memegangi. Yanti terus minum hingga menghabiskan setengah gelas sekaligus.
Kata petugas yang mengantar tadi, Yanti ditemukan menggigil di tepi danau. Dia berbaring, meringkuk di dekat bebatuan. Tidak menangis, hanya memandang kosong ke arah danau. Mulutnya terus mengatakan, ‘Aku membunuhnya. Aku membunuhnya’. Tak tahu sudah berapa lama dia ada di sana. Yang pasti dia sangat haus.
“Diva,” panggil Yanti seusai minum.