Tetangga Keempat

Yunita R Saragi
Chapter #14

Lapis Gulungan Kecurigaanku Bertambah

Aku pulang dalam kondisi lapar. Aroma masakan menyambut seksi sekali. Wuah, Sari memang terbaik.

“Masak apa, Dek?”

“Sop ayam,” sahutnya pendek tatkala aku melongok untuk memeriksa isi panci.

Ketika melihat potongan ayam pucat, basah, dan tenggelam dalam air menggelegak, tiba-tiba gas di perutku naik ke tenggorokan. Mual. Penampakannya mirip jenazah.... Lupakan!

"Kenapa, Bang?” Sari melirik. Sudut mata super tajam nan nyelekit itu seolah menebas kepalaku.

“Nggak...,” kilahku. “Di kulkas ada tempe? Aku nggak bisa makan itu, karena....”

“Ih!” Tiba-tiba Sari mencicit sambil mengernyit. Dimatikannya kompor. Aku pikir, dia hendak menyiramku dengan kuah sup mendidih.

“Aku juga jadi.... Abang pun!” pekiknya setelah berhasil memprediksi apa yang sedang kupikirkan, “Ngapain ngingetin ke situ coba? Mana stok di kulkas tinggal ayam.”

Dia cemberut. Agar dia tak semakin memojokkan, aku langsung menyarankan untuk memberikan sup ini kepada keluarga Tanto saja. Pasti, dalam kondisi begitu, Yanti tak mungkin memasak. Mata Sari berbinar tanda dia menganggap ideku sangat keren. Karena memang sudah matang, dia dengan cepat memakai kitchen mittens dan mengangkat sup itu sekalian panci-pancinya. Gerakan yang tergesa, membuatku khawatir.

“Pelan aja jalannya, Dek! Bahaya itu sop panas, kalau jatuh bisa kena badanmu!” saranku saat dia sedang menelusupkan kaki pada sandal di depan pintu.

“Iya, Bang!”

Lima belas menit, tiga puluh menit, hingga hampir empat puluh lima menit, Sari tak muncul juga. Apakah dia telah melupakan seorang suami yang kelaparan di sini? Mau pesan makanan online, ya, gimana? Sari, kan, belum makan juga. Mau pesan makanan untuk dia sekalian, takutnya tak sesuai selera. Mau pesan sendiri, nanti dibilang egois. Salah juga mendelegasikan seseorang dengan kemampuan ‘ngobrol’ tahan lama seperti Sari ke sana. Aku sendiri malas menjemput. Lelah aku dan sebetulnya tak kuasa melihat kesedihan Tanto. Sari tak bisa ditelepon, hape-nya itu di atas meja. Dia tinggal.

Menghentikan game Free Fire, aku lalu bergegas mencari sesuatu yang bisa mengisi perut. Kutemukan biskuit. Kubuat teh manis. Tentu saja, bagi lambungku, itu bagaikan seekor hantu semut halus berjalan melayang di pantat gajah. Jangankan membuat geli, terasa saja tidak.

Lihat selengkapnya