Tetangga Keempat

Yunita R Saragi
Chapter #15

Jam Tangan di Tong Sampah

Andre benar-benar mencurigakan! Untuk apa dia menemui Yanti tadi malam? Anak sok paling kecakepan di antara kami itu mendatangi Yanti saat Tanto belum pulang. Pas benar. Tadi malam, mungkin Tanto dapat panggilan benerin mobil di rumah langganannya. Momen ini ditunggangi Andre untuk mencuci otak Yanti. Benar-benar keparat kau, Andre!

Dengan cara bicaranya yang bisa kubayangkan sangat manipulatif, pasti mudah sekali dia memperdaya Yanti. Aku yakin, dia sudah terlebih dahulu tahu tentang penyakit wanita malang itu. Dia hanya tinggal memercayai semua yang dikatakan Yanti, sehingga wanita itu merasa didukung. Dia pasti telah mencoba mengokohkan peristiwa delusional Yanti menjadi lebih terbentuk nyata lagi. Bahkan bisa jadi dia menumbuhkan kepercayaan lain di kepala Yanti. Emosiku terlempar ke ubun-ubun, sampai-sampai rasanya panas. Tak ada kata-kata lain bertebaran di kepalaku sekarang, selain berjuta makian untuk dia.

Katanya, malam itu dia ingin membantu Yanti. Membantu untuk menghilangkan rasa bersalahnya kepada Aina, sambil berjalan-jalan mencari udara segar. Kegiatan jalan-jalan malam yang sangat aneh itu keterusan--sengaja diteruskan--sampai ke Bukit Pinus dan berhenti di pangkal jalan tikus menurun terjal menuju Danau Sijernih. Saat Sari menanyakan ke mana Diva dan Risa dan apakah mereka tahu atau tidak kejadian ini, Yanti menjawab,

"Anak-anak kusuruh tidur. Jadi mereka nggak tau."

Sejak kapan Andre akrab dan begitu perhatiannya terhadap Yanti? Di sana mereka berdua—sesuai cerita Yanti—menatap danau dari kejauhan sambil Andre mengatakan bahwa Yanti jangan merasa bersalah. Sebab, Aina itu memang pantas mati. Dia telah mengganggu banyak ketenteraman rumah tangga kompleks ini. Dia mengaku kepada Yanti kalau sering digoda Aina pula.

Andre sengaja melakukannya. Itu cara jitu demi usaha menanam kepercayaan baru di kepala Yanti. Sari bilang, pada malam itu sampai-sampai Yanti mengatakan bahwa dia jadi ingat kembali pernah melalui jalan itu, bersama Winar. Mereka menyeret mayat Aina dengan terpal penutup mobil. Andre berhasil. Yanti percaya dan langsung mengarang kejadian baru di kepalanya. Atau... bisa jadi Andre yang mengarangkan cerita itu untuknya.

Malam itu, memang mereka berdua segera kembali ke rumah. Namun hati tak tenang Yanti, menyebabkannya di waktu subuh pergi ke sana lagi sendirian. Dia terus berlari tak hanya sampai di Bukit Pinus, tapi terus ke jalan terjal menuju danau, terguling-guling, lalu sempat tak sadarkan diri.

Aku langsung menelepon Winar di detik itu juga. Lelaki itu berteriak-teriak dan bersumpah dari ujung telepon bahwa dia tak ada hubungannya dengan kematian Aina.

“Kalau memang kau tak ada hubungannya, kenapa kau nggak datang-datang ke sini lagi, ha? Takut kau, ya?” serangku.

“Nggak, Pak. Sumpah! Memang lagi libur, Pak. Mbak Yan ngasih aku libur sampai seminggu,” kilahnya dengan suara memelas.

Aku tahu, dia pasti sangat ketakutan. Dia tentu teringat akan semua kejahatan yang pernah dia lakukan kepada Aina. Sari mengedip-ngedipkan mata, memberikan kode padaku agar berhenti menekan Winar.

“Kalau terbukti kau terlibat, hancur kepalamu kubuat, ya!”

Telepon kumatikan.

“Kasian Winar, Bang. Kejadian itu, kan, cuman khayalan Mbak Yan.”

“Iya, aku tahu. Aku cuma mastikan aja, sebelum aku bertindak lebih jauh.”

Jejak Yanti sekarang benar-benar ada di danau. Polisi bisa mencurigai wanita tak bersalah itu sekarang. Kau tak secerdas itu, Andre! Tidak! Aku dengan mudah bisa tahu beragam maksudmu mengajak Yanti ke sana. Tega benar kau.   

“Bertindak apa, Bang?”

“Kita harus yakinkan Yanti kalau yang dipercayainya itu salah. Pertama, kita minta Winar datang untuk bantu yakinkan Yanti. Kedua, kita cari terpal yang dibilang Yanti buat nyeret Aina. Di danau, Polisi nggak nemuin terpal apa pun. Benda itu pasti masih bagus dan tak ke mana-mana, ada di garasi rumah mereka. Yakin aku. Nanti kita tunjukkan sama si Yanti. Terpal pasti robek-robek, lah, kalau memang benar dibuat menyeret beban berat di jalur bebatuan kayak begitu.”

“Iya, ya, Bang. Kasihan aku nengok Mbak Yan begitu terus. Dia harus diyakinkan kalau dia nggak salah. Mana dia selalu nggak mau kalau diajak ke psikiaternya. Susah ‘kali Mas To membujuknya.” Sari menghela napas dan melipat tangannya. Pandangan itu menerawang.

“Tapi, itu nanti aja kita kerjakan. Sekarang ada yang lebih penting,” ujarku kemudian saat sekelebat ingatan muncul di kepalaku.

“Apa, Bang?”

“Truk sampah belum lewat, kan?”

“Hari Minggu, kan baru besok, Bang, masa lupa!”

“Andre dan Tata ada di rumah waktu kau lewat tadi?”

Sari menggeleng dengan wajah kebingungan, “Kan, dari kemarin mereka pergi ke tempat neneknya Safira, Bang. Kok, jadi lupa semua, sih!”

“Ya, siapa tahu udah pulang.” Aku berdiri dan melangkah menuju pintu depan.

“Mau ke mana?” pekik Sari.

Aku tak menjawab, tapi sekilas memandangnya. Dia beranjak, mengikutiku.

“Mau ngapain, sih, Bang?”

“Bantu aku cari sesuatu di tong sampah si Andre itu!”

“Cari apa, Bang?” tanya Sari tatkala kuselipkan tubuhku di cela pagar.

Dia mengikutiku, tapi dia dorong pagar lebih lebar karena tak muat tubuhnya lewat.

“Cari sesuatu yang mencurigakan. Siapa tahu bisa jadi barang bukti.”

Aku berhenti, menatap Sari, dan melanjutkan dengan suara rendah, “Senin pagi, aku liat Andre buang sampah. Andre buang sampah. Aneh, kan?”

Lihat selengkapnya