Tetangga Keempat

Yunita R Saragi
Chapter #16

Dosa Pertama

Sungguh ‘ku tak menyangka, irama kehidupan mampu berubah sedrastis dan secepat ini. Bukan masakan Sari, bukan pula pesanan online, tapi nasi bungkus dingin yang mengisi perutku hari ini. Sore tadi, Sari ditemani Tanto menyusulku. Kami bertemu, itu pun hanya boleh sebentar. Nasi itu dari Sari. Menjadi dingin, karena dia harus menunggu sangat lama sebelum akhirnya boleh bertemu denganku. Soalnya ketika Sari datang, polisi sedang memeriksaku. Untungnya, pemeriksaan akan dilanjutkan besok. Soalnya, aku bersikukuh minta didampingi pengacara dulu. Walau awalnya berbelit-belit, tapi mereka mengabulkannya karena ini memang hakku.

Tanto juga sempat menemuiku.

“Yang sabar kau, Cak, aku yakin ini hanya salah paham.”

Aku mengangguk. Benar-benar tak dapat berkata apa-apa lagi. Tadi, Tanto juga sempat membantuku mencarikan pengacara terbaik. Salah satu pelanggan bengkelnya, seorang pengacara terkenal di distrik ini bersedia datang besok. Hubungan baiknya dengan orang-orang ternyata kini mampu menolongku. Orang tulus sepertinya pasti selalu punya pertemanan yang tulus pula.

Pukul dua belas malam—entahlah, bisa jadi lewat atau kurang, terduduk di tikar tipis dalam salah satu sel di Kantor Polisi Distrik Jaya Baru, aku tercenung. Denganku, sekarang sel ini berisi enam orang. Empat penghuninya sudah tertidur. Satu lagi masih terjaga dan menikmati rokok yang tadi sempat dia sembunyikan. Tentunya kemewahan yang dia dapat itu bisa dinikmati karena menyogok salah satu oknum petugas korup di sini. Yang penting jangan melakukannya terang-terangan. Agak rapi, lah, sedikit.

Kami tak banyak bicara satu sama lain. Apalagi dengan yang sedang merokok itu. Dia sangat malas bicara. Masing-masing sibuk dengan pemikiran dan masalahnya sendiri. Hanya satu yang mau menyapaku, laki-laki gendut tersangka kasus penipuan. Kenapa ada banyak kutemukan penipu berpenampilan sangat bersih dan berwajah semenyenangkan dia itu, ya? Kulihat sekilas wajah gembulnya tumpah karena posisi tidur telentang. Dengkurannya bising sekali.

“Selamat datang di dunia baru, Bro! Semoga betah.” Aku tersenyum kecut mendengar sapaan itu. Salah satu yang membuatku tak betah di sini, ya, mungkin karena dengkuranmu itu, Bro.

Daripada mengasihani diriku karena semua kenyamanan rumah yang kumiliki telah terenggut, sebenarnya aku lebih mengkhawatirkan Sari. Ternyata, dia sehancur itu. Aku pikir, dia akan tegar. Atau, setidaknya mengamuk, marah, atau berubah jadi monster apalah, terserah! Asal jangan terlihat sangat rapuh seperti tadi. Sangat terpukul seperti tadi. Apakah dia masih mau mendukungku setelah tahu yang sebenarnya? Kok, enak, aja, Cak! Kau harus terima risiko! Akhirnya, aku merasa memang pantas ada di sini. Bukan karena apa yang kulakukan kepada Aina.

Sumpah, aku tidak membunuh Aina! Tidak. Aku mencintainya dengan sangat. Bagaimana aku bisa membunuhnya? Dia sangat berharga bagiku. Satu-satunya kesalahanku adalah karena aku tergoda lagi untuk mengulang manisnya rasa cinta pertama. Aku pantas di sini untuk menebus rasa bersalah pada istriku itu. Aku mengkhianati Sari.

Lihat selengkapnya