Tetangga Keempat

Yunita R Saragi
Chapter #17

Permainan Kotor

Tentang mengempaskan kepala Tanto dengan kap mesin mobil minggu kemarin, aku serius. Sebenarnya bukan karena kepolosan bangsatnya itu. Bukan! Sungguh, aku cemburu. Amat sangat besar rasa cemburu itu dibanding sebelum aku mengetahui kalau dia pun mantan Aina.

Jika coba kuperkirakan detail waktu mereka mulai berpacaran saat kuliah dulu, Aina pergi karena Tanto. Cukup beralasan. Di masa itu, tentu Tanto jauh terlihat lebih macho daripada aku, mengingat sekarang pun dia masih tampan dan gagah. Ditambah lagi Tanto lebih kaya. Di awal kami bertetangga, dia pernah bercerita kalau Pak Atmojo, bapaknya adalah petani kopi. Petani di distrik ini semua kaya raya. Apalagi petani kopi. Kekayaannya sudah seperti Raja Minyak.

Adapun kalau sekarang dia menjadi montir alih-alih mengelola kebun kopi, sebenarnya merupakan pantulan dari sikap santai dan lurusnya. Selain memang karena kopi bukan passion-nya, juga dia tak ingin bertengkar dengan tujuh saudaranya yang lain. Yang semuanya berebut ingin menguasai kebun kopi bapak mereka.

Kecemburuan akibat masa lalu dan masa sekarang, terakumulasi. Namun, aku mampu meredamnya. Lebih tepatnya terpaksa menyemprot hama kecemburuan itu dengan sikap bijaksana.

Apalagi ketika aku menyampaikan keberatan akan kedekatannya pada Tanto, Aina mengatakan dengan suaranya yang menghanyutkan, “Bang Cakra, sekarang ini aku baru aja merasakan kebebasan. Jangan ikat aku dengan apa pun. Kalo masih mau, ayok. Kalo enggak, ....” Aina mengusir udara dengan tangannya. Gestur untuk mengatakan ‘kau pergi saja’.

“Pak Cakra.” Panggilan itu mengembalikanku ke salah satu ruangan pengap di Kantor Polisi Distrik Jaya Baru.

Aku mendongak. Seorang pria semuda Reyaga mengenakan pakaian sangat rapi memandangku hangat. Kami berhadap-hadapan. Rambutnya seperti basah. Dia memperkenalkan diri sebagai Nata Gamelion, seorang pengacara dari N&G Group. Dia yang mobil mewahnya diurus dengan baik oleh Tanto, memberikan ‘harga’ bagus untuk kasus ini. Biasanya, aku melihat dia hanya dari televisi saat menangani kasus-kasus besar. Sekarang makhluk bersinar ini nyata dan sedang tersenyum padaku. Ternyata, sinar di wajahnya bukan hanya karena lighting, tapi asli bercahaya. Mengapa kulit orang-orang kaya bisa sehalus dan sebersih ini, ya?

“Anda sudah ceritakan semuanya?” lanjutnya.

Aku mengangguk.

“Harus semuanya, ya, Pak,” dia mengingatkan, “jangan ada yang disembunyikan, biar tim kami bisa susun strategi pembelaan untuk Bapak.”

Dia menatapku sehingga menggugah untuk berbicara lagi, “Sudah..., eee, sudah semuanya.” 

Apa yang dia lakukan? Keburukan semacam apa lagi yang diharapkannya sedang disembunyikan? Semua rahasia telah dibongkar. Sampai-sampai ke permainan paling ‘kotor’ yang awalnya ingin aku timpakan pada Tanto. Ya, kusadari sekarang sebaik apa pun kita berusaha melemparkan kesalahan ke muka orang lain, semua perbuatan itu akan kembali menyerang pelakunya sendiri. Betapa jahat aku. Karena pernah menjalankan upaya fitnah kepada orang baik seperti Tanto—meskipun tidak berhasil.

‘Permainan kotor’, sebutanku sekarang. ‘Permainan Cinta’, sebutan sebulan yang lalu. Aina ternyata punya kehidupan pribadi yang cukup liar. Utamanya dalam hal pemenuhan kebutuhan batin. Selain karena suami sebelumnya itu sangat possesif, perpisahannya juga disebabkan kurangnya Aina akan kebutuhan yang satu itu. Dengan uang yang dia punya, dia sering menyewa ‘brondong’ untuk menemaninya. Bisa menebak, kan, apa kelanjutannya? Kegemarannya ini terbongkar. Dia diceraikan dengan membawa kebencian sangat mendalam dari suaminya. Suami yang sudah membuat hidupnya serba berkecukupan. Bukannya sedih, perempuan aneh itu malah senang, karena merasa jadi lebih bebas.

Di hari pertama kami bertemu lagi, Aina dan aku melakukannya. Dia sangat bersemangat, seolah sudah seribu tahun tidak pernah disentuh. Betapa hari itu menjadi hari paling istimewa dalam hidupku—pada waktu itu, kalau sekarang telah menjadi hari paling durjana. Setahun belakangan, aku dan Sari jarang melakukan hubungan suami-istri lagi. Kalaupun terjadi, akan berlangsung secara monoton dan membosankan. Ini dijadikan alasan untuk pembenaran. Walau kutahu pada akhirnya, yang salah tetap salah. Seperti nasihatku kepada Sari: jika sesuatu diawali dengan salah, akan berakhir salah pula, bahkan bisa lebih parah.

Lihat selengkapnya