Aku tidak menyangka Sari malah meminta nonton bioskop jadwal terakhir. Betapa aku sangat tidak menginginkan hal itu. Padahal mengajaknya ke mall hanya dalam rangka menyenangkan dirinya, sebelum ke rencanaku yang sesungguhnya di malam itu. Kubuat dia lelah supaya tidurnya malam ini dua kali lipat lebih nyenyak. Sekaligus pula, aku ajak dia berdiskusi tentang kemungkinan affair Aina dan Tanto. Agar semakin kuat dugaan orang-orang bahwa aku ini bersih. Tanto yang berselingkuh, bukan aku. Minimal, di mata Sari.
“Dek, aku ke toilet sebentar, ya,” izinku pada Sari setelah pasrah membeli tiket nonton.
Tentu saja aku bukan hendak buang air besar atau kecil. Aku hanya ingin menjauh sejenak dari Sari. Aku bahkan tak ke toilet. Aku mencari tempat strategis untuk menelepon Aina.
“Sayang,” panggilku setelah dia mengatakan ‘halo’.
“Ya, Sayang. Aku udah siap-siap, nih,” kabarnya membuat aliran darahku mendesir dan berkumpul di suatu tempat paling sensitif.
“Mmm, maaf, Sayang. Sari ngajak nonton midnight show pulak, nih. Bisa, nggak berangkat kempingnya kita tunda sampai jam sa...tu atau... hmmm jam dua sajalah,” pintaku dengan rasa tidak enak menggelembung.
“Hmmm, sebenarnya, sih, di mana serunya? Di mana sensasi ketakutannya? Di jam segitu orang udah pada tidur semua. Kurang menantang kamu, ih!” protesnya manja.
Begitulah kegilaan Aina. Dia memang sengaja memilih tempat dengan kemungkinan sangat tinggi akan bertemu orang yang kami kenal. Katanya, di sana serunya. Aku belum seberani dia. Makanya, aku berusaha memilih spot kemping dan waktu yang sekiranya orang-orang di Bukit Mawar jarang ada. Teori aneh lain Aina lagi, katanya tempat dekat justru yang teraman. Karena logikanya, orang-orang akan lebih mencurigai jika bertemu kami berduaan di Pulau Kemiri di seberang sana daripada di dekat rumah sendiri. Masih bisa berkilah kalau kami sebenarnya kemping dengan keluarga dan istriku sedang mengambil makanan di rumah.
“Ya, udah, deh, nggak apa. Daripada nggak jadi. Ya, kan? Hihihi.” Dia melanjutkan.