Mungkin, karena sejak awal aku telah menerima dengan lapang dada sebagai hukuman atas pengkhianatan terhadap Sari, maka seminggu berada di sel sumpek ini tidak membuatku begitu tertekan. Perlakuan baik Reyaga dan polisi-polisi lain di sini juga meringankan untuk kulewati hari-hari membosankan. Sebenarnya, ada satu yang belum aku katakan pada siapa pun, termasuk pada Nata juga Reyaga.
Mengenai ponsel Aina. Itu... itu hal yang masih kusembunyikan. Aku terus menimbang-nimbang untung rugi menyampaikan hal ini. Aku benar-benar takut dengan penemuan itu. Bahkan untuk berkonsultasi pada Nata saja aku ragu. Padahal bisa dibilang, dia akan tetap berusaha membela bagaimanapun kesalahanku. Ponsel itu sebenarnya petunjuk penting. Andai saja penemuan itu dilaporkan secepatnya, ada kemungkinan Aina masih dapat ditemukan dalam kondisi hidup.
Aku khawatir ini bisa dijadikan dasar kalau sebenarnya aku juga turut membantu akan hilangnya nyawa seseorang meski tak secara langsung. Kelalaian. Tiga hari yang lalu, informasi ini sudah kususun di ujung mulut. Aku ingin meminta saran Nata pada kunjungannya yang ketiga. Namun, kutelan lagi. Soalnya, kuprediksi Nata membantu karena masih merasa kasusku ringan, berhubungan dengan perselingkuhan. Namun, bagaimana jika kesalahanku adalah kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain? Membunuh? Kan, bisa beda ceritanya.
Saat-saat begini aku sangat merindukan Sari. Dia tempat berkeluh-kesah, meminta pendapat, bahkan berkonsultasi. Walaupun sebenarnya Sari jarang punya solusi cerdas pada masalah-masalah kami, tapi dia pendengar yang baik. Dia juga penyemangat yang sangat hebat. Biasanya ketika semua keluh-kesah didengar, semangat pun dikobarkannya, solusi akan muncul dengan sendirinya di kepalaku. Solusi fresh yang bahkan terkadang aku sendiri heran mengapa sebelumnya tak terpikir. Sari... pantas kau jadi ember tampung curhatan orang-orang di kompleks. Kau memang sehebat itu. Betapa makin teriris perasaanku. Aku telah menyakiti orang sehebat dirimu.
Kemarin, Sari tak ke sini. Mungkin dia diburu banyak deadline pekerjaan. Soalnya sejak aku ditahan, setiap hari dia datang membawa makanan. Dia terus memberikan semangat. Sengaja diajaknya aku ngobrol tentang berbagai hal di luar kasus ini. Dia sering menceritakan tentang Yanti yang semakin hari semakin membaik.
Hari ini aku menunggunya dengan penuh harap. Makanan di sini tidak enak. Sudah tak enak, harganya mahal pula. Kalau mau gratis ada. Nasi dan sayur bening anyep tanpa ikan. Lagipula, aku bertekad hari ini mau menceritakan semua padanya. Tidak kututup-tutupi lagi dengan argumentasi ‘salah tangkap’ atau ‘dijebak Andre’ seperti sedia kala. Semua perselingkuhanku. Juga tentang ponsel Aina. Supaya dada ini benar-benar plong. Aku sudah siap dengan risiko dibenci Sari.
Sampai sore Sari tak muncul juga. Saat aku hendak berbaring, seorang petugas menyuruhku keluar. Aku pikir Sari, ternyata....
Tanto mengunjungiku. Dia memelukku dengan wajah sedih. Hidungnya dia pegang-pegang sambil menarik-narik ingus. Aku kenal bahasa tubuh itu. Dia sedang khawatir.
“Sehat, Bro?” tanyaku.
“Jangan tanya aku. Tengok dirimu sendiri, Cak. Mengerikan!” katanya sambil menggeleng.
Aku menyunggingkan senyum. “Baru pulang kerja?”
“Iya.”
“Yanti gimana? Sehat?”
“Sehat. Dia baik-baik aja,” dia menggosok hidungnya lagi, “sudah, Cak. Aku tahu bukan tentang aku dan istriku yang mau kau tahu sekarang ini. Ya, kan?”
“Sari nggak datang kemarin,” sambarku, “dia sibuk, ya?”