Aku menggenggam tangan Sari. Tidak pernah selama kami menikah aku melakukannya di depan umum. Biasa aku terlalu fokus dengan apa kata orang. Takut dibilang ‘lebay’ adalah salah satu alasan aku jarang menggandeng istriku di keramaian. Sekarang, siapa peduli dengan kata orang? Aku sudah dikenal luas sebagai pria yang membunuh selingkuhannya.
“Dek, makasi udah mau datang.”
Sari mengangguk.
“Makasi udah mau maafkan Abang.”
Dia mengangguk lagi. Kali ini ditambahkan dengan tarikan napas panjang.
“Aku nggak tau mau bilang apa lagi, Dek. Aku....”
“Bang!” bentaknya. “Waktu kunjungan di sini nggak banyak. Jadi nggak usah bahas yang nggak penting dulu! Paham!” Nada suaranya tinggi. “Aku ke sini karena ada yang mau aku ceritakan ke Abang.”
Aku malah tersenyum. Sariku sudah kembali. Sariku sudah kembali! Entah mengapa aku bisa sesenang ini mendengar bentakannya itu. Lilitan kerinduan di dadaku lerai sedikit demi sedikit.
“Kak Tata minta ketemuan kemarin, Bang,” lapornya.
Jantungku seolah berhenti, tapi kemudian berdenyut cepat lagi penuh harapan.
“Dia menelepon dan kami akhirnya ketemu di Kota Baru.”