“Sampai di situ aku syok, Bang!” ujar Sari. "Aku minta dia berhenti bercerita dulu. Tangannya gemetar ‘kali soalnya. Waktu kupegang dingiiin kayak es. Aku bawa dia keluar dari kafe. Kuajak dia jalan-jalan ke pantai, supaya dia tenang, Bang. Supaya, aku juga punya kesempatan mencerna semua ceritanya.”
Jadi, Sari membawa Tata ke pantai sore itu. Selain agar memberikan jeda, Sari juga khawatir. Kalau tetap di situ, pembicaraan mereka berisiko didengar orang lain. Pengunjung kafe semakin ramai menjelang malam Minggu. Mereka akhirnya duduk di atas pasir pantai dihujani cahaya jingga matahari senja, menjauh dari keramaian yang terpusat di kafe-kafe pinggir pantai.
“Terus...,” Sari menelan ludah saking takutnya menerjemahkan pertanyaan dalam kepalanya itu dengan kata-kata, “kekmana Kak Ai bisa sampe ada di danau?”
Tata menggigit bibir sebelum meneruskan ceritanya. Matanya menatap debur ombak pantai. Tentu saja di mata Tata itu menjadi semacam layar yang menayangkan kembali kejadian mengerikan malam itu.
***
Andre menjambak kuat rambutnya sendiri saat mungkin baru menyadari apa yang telah dia lakukan. Dia mengecek denyut nadi Aina. Lesap. Andre berjongkok beberapa saat di depan mayat perempuan malang itu. Tata sendiri terduduk menangis di atas track beton sambil berulang kali mengerang, “Kekmana ini? Kekmana ini?”
“Ma, kita harus tenang. Kita harus bawa dia ke suatu tempat. Ikuti semua yang Papa bilang, oke?”
Saat itu Tata hanya mengangguk, sambil berusaha mengatur debur jantungnya.
"Kita bawa dulu dia pulang, supaya kita bisa berpikir lebih tenang di rumah.”
Tak ada debat, Tata langsung menyetujui. Andre mengangkat tubuh Aina, sementara Tata disuruh membawa tas sandang milik Aina dan batu yang digunakan sebagai senjata pembunuh. Saat tubuh Aina sudah melayang di udara, ditopang kedua lengan Andre, keduanya saling bertatap-tatapan. Mereka sama-sama baru saja melihat sesuatu.
“Pa, darah.”
Persis di lokasi kepala Aina berada tadi, ternyata ada batu cadas cukup besar. Ada darah mengalir di atasnya. Belakang kepala Aina pasti terhantam itu saat jatuh. Jadi sebenarnya, tanpa dihajar lagi perempuan itu sudah sekarat.
“Kita antar dulu ini ke mobil!” kata Andre sambil melirik tubuh Aina di gendongannya.
Tata melepas jaketnya untuk menahan darah yang terus keluar dari belakang kepala Aina agar tak menetes di sepanjang track.
Mereka bergegas ke mobil. Aina, tas, dan batu yang meremukkan jidatnya diletakkan di jok belakang. Ketika Tata duduk di bangku kemudi, Andre tak segera ikut masuk. Dia memutar ke belakang mengambil pengki plastik penampung sampah di bagasi. Setelahnya dia kembali dan membuka pintu di jok depan.
“Ma, minta botol air mineral itu.”
“Untuk apa, Pa?”
“Bersihkan tempat tadi. Jangan banyak tanya Papa bilang, Ma. Ikuti aja.”
Tata merasa bersalah dan segera menyerahkan satu botol ukuran satu liter pada suaminya.
“Cuma ini air mineral kita, Ma?”
“Ada di belakang.” Tata tak berani menoleh.
Andre tahu Tata tak ingin menatap wajah pucat Aina. Maka dia tak lebih lanjut memerintah istrinya itu. Dia membuka pintu belakang dan mengambil satu botol air mineral berukuran sama tetapi masih tersegel di dekat kaki mayat Aina.
Pada saat menutup pintu, Petrik datang dengan mobil listriknya. Tata terkejut setengah mati.