Tentang jam tangan Aina, Tata bilang ternyata itu terjatuh di mobil. Benda itu ditemukan Tata saat dia membersihkan jok belakang dari sisa-sisa darah. Andre yang bertugas melenyapkannya karena dia harus segera berangkat mengajar. Suaminya bilang, mereka harus beraktivitas seperti biasa kala Tata berkata pengin izin tak masuk sekolah. Dia sangat lelah padahal, baik fisik maupun psikis. Akan tetapi, apa boleh buat? Tata pun menurut.
Kemarin, Tata meminta maaf sekaligus berpamitan kepada Sari. Dia bilang karena masalah ini, setiap hari dia dan Andre tak lagi akur. Andre sendiri sudah pulang ke rumah orang tuanya. Dia mungkin mengalami banyak tekanan, salah satunya menghadapi Tata yang setiap hari memintanya untuk menyerahkan diri saja. Hidup mereka tak lagi tenang.
Demi anak-anak, suaminya itu berjanji akan menutupi keterlibatan istrinya kalaupun nanti dia tertangkap. Terbang ke Melbourne juga atas izin Andre. Suaminya itu akan menghadapi sendirian.
Kalau pendapatku itu sudah sepantasnya. Dia memulai babak kehidupannya dengan cara yang salah. Mulai dari mengelabui orang untuk memberikan keluarganya tempat tinggal. Itu cara yang sangat buruk untuk memulai sesuatu, apalagi sesuatu itu seindah keluarga: istri dan anak-anak.
Segala sesuatu yang dimulai dengan cara salah, maka akan berakhir salah, atau lebih parah.
***
SP3-ku sudah keluar. Nata tidak bisa hadir hari ini, tapi dia mengirimkan anggotanya. Pengacara dari N&G Group yang mewakili Nata adalah seorang perempuan muda. Dia menyalamiku dan memberikan selamat. Padahal aku teramat sangat ingin berterima kasih langsung kepada Nata. Gadis ini berjanji akan menyampaikan pesanku kepada pemuda cerdas itu.
Dari jauh Reyaga sudah tersenyum berwibawa memandangku. Dia memang berkarisma, sangat cocok jadi penyidik.
“Terima kasih sudah membantu Kepolisan, ya, Pak.”
“Saya yang berterima kasih, Dek Re, tetap diperlakukan dengan baik di sini.”
“Itu memang prosedur, Pak. Maafkan kami kalau ada perilaku yang kurang berkenan. Aku harap kita jangan pernah ketemu lagi, ya, Pak.” Reyaga menatapku serius.
“Ah, seandainya aku punya anak perempuan.”
Reyaga terdiam sesaat, kemudian tertawa keras. Aku juga ikut terbahak.