Hari Minggu enam bulan kemudian
“Ya! Mundur, mundur! Oooppp! Lagi. Maju sikit! Terus, terus!” Suara orang mengatur kendaraan parkir, bercampur bising deru mesin truk membuatku yang sedang bersih-bersih di garasi jadi berhenti.
Keributan itu sayup-sayup terdengar, sebagai tanda kejadiannya berjarak tidak terlalu dekat dengan rumahku. Sari tiba-tiba sudah terlebih dahulu muncul begitu saja di halaman. Seperti kemunculan Ibu Peri. Bedanya Sari menggenggam spatula kayu bukan tongkat sihir.
“Apa itu, Bang!” pekiknya sambil menjulur-julurkan kepala. “Ehhh....”
Sari berjalan terus keluar pagar. Segera kuikuti dia. Di depan bekas rumah Aina, ada truk terparkir. Tanto dan Yanti tampak berdiri di sana bersalaman dengan seorang wanita. Rumah itu sudah laku, pikirku. Ketika kami tiba, perempuan tadi berlalu dan masuk ke rumah sambil menarik dua koper besar. Empat laki-laki sedang bahu-membahu menurunkan barang dari truk.
“Orang baru, To?” sapaku.
Tanto mengangguk. Sari sendiri sudah mengambil tempat di dekat Yanti dan mulai bertanya-tanya.
“Kali ini nggak mantanmu lagi, kan?”
Laki-laki itu tak langsung menjawab. Dia menautkan kedua tangan, lalu membunyikan jari-jemarinya dan lantas tersenyum.