Tetangga Lima Langkah

Lirin Kartini
Chapter #1

Bab. 1 - Kulkas Sepuluh Pintu

Suara jeritan itu begitu keras dan memekakkan telinga. Deru napas yang memburu membuat paru-paru terasa sesak dan sakit seperti kehabisan oksigen. Sekujur tubuh pun gemetar hebat dan berkeringat dingin. Seketika syaraf-syaraf di otak memerintahkan mata ini untuk terbuka.

Dengan napas terengah, mataku mengedar ke sekeliling ruangan. Aku mengembuskan napas lega begitu menyadari tubuh ini sedang berada di tempat teraman dan nyaman. Kamarku yang tidak seberapa luas ini, sangat berbeda dengan keadaan di mimpiku tadi. Sungguh mengerikan, kalau aku bisa mendeskripsikannya. Namun, satu hal yang pasti, aku tidak ingin kembali ke sana lagi.

“Ris, sadar, Ris! Itu cuma mimpi!” Tanganku menepuk-nepuk pipi guna mengembalikan kesadaran yang belum penuh.

Jam dinding di atas pintu kamar menunjukkan pukul enam lewat sedikit dan membuatku gelagapan bangkit dari tempat tidur.

“Gawat! Udah jam segini! Bisa ngomel dia!” Aku melempar selimut dan bergegas ke kamar mandi.

Dengan tempo yang dipercepat dua kali lipat, aku menuntaskan rutinitas pagi di kamar mandi lalu keluar.

“Mestinya bukan perkara ngomelnya sih. Tapi, tatapannya itu lho! Hiiih!” Sambil menyisir rambut di depan cermin, aku bergidik ngeri membayangkannya.

Mending nggak usah dibayangin deh.

“Arisa! Sarapan dulu!” Nenek menyambutku dengan suara seraknya, saat aku keluar dari kamar sambil melompat dengan sebelah kaki. Tentu saja karena aku sedang memakai kaos kaki dan sepatu sebelah kanan sekaligus berjalan untuk mengejar waktu.

“Nggak usah, Nek. Risa buru-buru! Nanti aja makan di kantin!” jawabku ketika urusan alas kaki beres. “Risa berangkat dulu, Nek!”

Aku berlari ke luar secepat kilat dan hendak menutup pintu, tetapi tali ransel yang belum sempat kupanggul malah tersangkut di gagang pintu.

“Haduuuh! Apa lagi sih ini? Ada aja halangan kalau lagi buru-buru!” Aku melepas tali ranselku dan berlari ke pagar.

“Satu menit!” Sebuah suara dingin dan ketus langsung menggema di telinga begitu aku menutup pagar. 

Nah, kan. Apa kubilang.

Spontan aku mengerucutkan bibir karena kesal. Sosok tampan di depanku masih bergeming dengan tatapan mata setajam pedang yang bisa mengoyak jantungmu. Dia menunjuk arloji di pergelangan tangannya.

“Cuma satu menit doang!” protesku.

“Perjanjian tetap perjanjian. Kamu sendiri yang bilang gitu, ‘kan?”

Masih dengan cemberut aku menerima tas ransel yang disodorkan lelaki kulkas sepuluh pintu itu. Iya, sepuluh pintu! Yang artinya dia adalah anak laki-laki yang paling dingin, jutek, dan cuek yang pernah kukenal.

“Aduuuh!” Aku mengaduh ketika berusaha memanggul ransel hitam dengan gantungan kunci bola dunia mini di bahuku. “Berat banget! Kamu bawa apaan sih? Batu?”

Lihat selengkapnya