“Olive! Sakit, tahu!” Aku berseru sambil mengusap bahu, sementara gadis berkacamata bulat itu tertawa.
“Kamu ngelamun aja sih! Pagi-pagi udah galau. Kenapa sih?” cerocosnya.
“Nggak ada apa-apa,” jawabku datar lalu berjalan lagi. Olivia atau yang biasa dipanggil Olive menyamai langkahku menuju gerbang sekolah yang sudah tampak di depan.
Rumahku dan Argo memang berada di satu kompleks yang sama dengan sekolah berstandar nasional plus ini. Berjarak tidak sampai satu kilometer, aku dan Argo biasanya berjalan kaki ke sekolah, meski yaaah … dia cukup sering meninggalkanku seperti tadi.
“Eh, Ris, apa itu? Bekal?” Olive menunjuk tanganku.
Aku mengangguk.
“Hari gini masih bawa bekal? Kamu udah gede lho, Ris. Tahun depan kita lulus, ‘kan? Masa masih bawa bekal sih?” seloroh Olive.
“Eh, ini bekal istimewa tahu! Nggak ada tandingannya. Bahkan makanan terenak di kantin sekalipun nggak ada yang bisa ngalahin ini.” Aku mengangkat tas bekal itu ke depan hidung Olive.
“Hmm … baunya enak! Apa isinya, Ris? Bagi dong!"
Aku segera menepis tangan Olive yang hendak merebut tas itu. “Eits! Nggak bisa! Ini spesial buat aku!”
“Pelit!” Olive mencibir sebal.
“Biarin!”
Aku dan Olive tertawa bersama lalu bergabung dengan rombongan anak-anak lain yang memasuki gerbang.
“Nggak ada PR, ‘kan?” tanya Olive ketika sudah berada di gedung utama.
“Nggak ada sih. Tapi, kalau ada, aku pinjam!” jawabku sambil terkikik.
Olive memonyongkan bibirnya. Aku tergelak, tetapi langsung berhenti ketika hampir tiba di depan kelas. Argo berdiri di sana memelototiku lalu masuk ke kelas.
“Eh, itu Argo kenapa pagi-pagi udah jutek mukanya?” tanya Olive.
Aku mengangkat bahu.
“Sembelit apa, ya?” Olive menebak.
“Belum boker?” sahutku.
“Mungkin.”