Tetangga Lima Langkah

Lirin Kartini
Chapter #3

Bab. 3 - Syarat dan Ketentuan

“Udah, Ris! Aku nggak mau denger lagi!” Argo berseru dan menatap tak suka padaku.

 Hari itu, aku dan Argo lulus SMP. Teman-teman memberikan kenang-kenangan berupa tanda tangan atau kata-kata manis di pakaian masing-masing. Tentu saja aku juga menuliskan sesuatu di baju Argo.

 Di kaus putih itu aku menulis, “Aku suka Argo.”

 Tulisan tulah yang membuat Argo berang. Tidak hanya itu, aku juga mengatakannya dengan lantang dan membuat kemarahannya makin memuncak.

 “Cukup, Ris!” Kali ini Argo membentak. “Jangan bikin aku jadi orang berengsek yang nggak peduli perasaan cewek!”

 Aku sama sekali tidak terkejut mendapat reaksi itu. Mungkin karena sudah terbiasa. Teriknya matahari di siang bolong pun tidak membuatku goyah. Tatapan kesal orang-orang yang terpaksa turun ke bahu jalan karena kami menghalangi perjalanan mereka di trotoar, aku abaikan. Aku tetap berdiri di depannya sambil mengulas senyum manis.

 Di depan rumahku yang hanya berjarak lima langkah dari rumah Argo, aku mendapat penolakan yang kelima. Iya, benar. Sudah lima kali aku menyatakan perasaanku pada Argo dan selalu mendapat jawaban yang sama.

 Aku menatap Argo. Ada rasa frustrasi yang terlihat di wajahnya. Dia gusar. Dia marah. Dia benci. Namun, tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mengatasinya, selain membentak, memaki, lalu menghela napas panjang.

 “Ini yang terakhir, Ris. Aku nggak mau denger lagi dari mulut kamu. Di kelas sepuluh nanti, dan seterusnya … tolong, aku mohon … jangan pernah begini lagi. Ngerti?” Argo berhenti sejenak dan menelan ludah, lalu melanjutkan, “Kamu tahu alasannya, ‘kan? Sampai kapan pun … itu nggak akan berubah. Paham?”

 Setelah mendapat anggukan dariku, Argo pergi. Namun, dalam beberapa langkah, dia berbalik lagi.

 “Kamu tahu, ini juga bukan keinginanku. Sekolah yang sama selama bertahun-tahun, aku benci itu. Jadi, jangan sok kenal di sekolah.” Argo memberi peringatan terakhirnya.

 Beginilah kami sekarang. Bersikap seperti orang asing yang tidak saling mengenal. Hanya sebagai teman sekelas yang menyapa dan bicara seperlunya. Bahkan tidak seorang pun tahu bahwa rumah kami bersebelahan. Berjarak lima langkah, Argo adalah tetanggaku.

 Hubungan kami tidak sekadar tetangga, tetapi lebih rumit dari itu. Alasan yang membuat Argo menjadi seperti sekarang. Bisa dibilang, akulah penyebabnya. Oh, mungkin juga bukan salahku sepenuhnya. Kalau saja dia tidak muncul di daerah ini sepuluh tahun lalu, keadaan sekarang mungkin akan berbeda.

 Terkadang aku berpikir, jika saat itu kami tidak bertemu, apakah di masa kini kami bisa bertemu secara wajar layaknya remaja pada umumnya?

 Ah, sudahlah. Itu masa lalu. Yang harus dihadapi adalah masa kini. Waktu yang sedang berjalan sekarang ini.

 Kembali ke hubunganku dan Argo. Sebenarnya tidak terlalu rumit, atau malah sederhana. Argo-lah yang membuatnya rumit. Dialah yang mempermasalahkannya sejak awal. Karena itu, kesepakatan ini dibuat. Perjanjian antara aku dan Argo.

 “Jangan sok kenal dan deket sama aku. Terutama di sekolah. Berangkat dan pulang sekolah sendiri. Kalaupun barengan, jaga jarak sepuluh meter di belakangku. Atau kita bergantian pulang terlambat.” Begitu Argo menyebutkan syaratnya sehari sebelum masuk sekolah.

 “Syarat pertama aku oke. Yang kedua … aku nggak yakin bisa. Kamu tahu Tante pasti minta kita berangkat bareng kayak dulu-dulu. Gimana solusinya?” tanyaku.

 “Setelah jauh dari rumah dan Mama nggak lihat, kita jalan sendiri-sendiri.” Argo menjawab tanpa keraguan sedikit pun.

Lihat selengkapnya