Tetangga Lima Langkah

Lirin Kartini
Chapter #4

Bab. 4 - Bucin Akut atau Bucin Tolol?

Kalau ditanya, apakah aku kapok dengan penolakan Argo? Apakah semua sikap dingin dan jutek Argo membuatku menyerah? Apakah aku berhenti menyukainya? Hmm, untuk saat ini tidak. Aku masih menyukainya.

Aku bodoh? Mungkin.

Kurang kerjaan? Bisa jadi.

Tidak tahu malu, tidak tahu diri. Sudah ditolak, masih saja suka dan tetap maju.

Bulol–bucin tolol? Whatever-lah!

Masih banyak lagi sebutan-sebutan aneh seperti itu yang ditujukan padaku, tetapi aku tidak peduli. Argo bukan lelaki berengsek seperti yang dia katakan. Dia bukan tidak peduli dengan perasaan orang lain. Dia hanya tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Terutama di depanku, seseorang yang dibencinya. 

Fakta yang semakin menumbuhkan rasa sukaku, telah dibeberkan oleh Mama Argo sendiri. Kisah tentang roti ham dan roti manis itu yang membuatku yakin, Argo adalah orang baik. 

Argo tahu bahwa aku menyukai roti ham. Sejak kecil kami selalu berebut roti itu saat baru keluar dari oven. Mama dan Papa Argo sampai kesulitan melerai pertengkaran sepele itu. Kupikir karena dia masih kesal dengan eksistensi diriku dalam kehidupannya, sehingga dia selalu mencari gara-gara denganku. Salah satunya dengan merebut apa pun yang kumiliki, termasuk roti ham itu.

 Lambat laun, Argo tidak lagi melakukannya. Benakku mengatakan, dia sudah bosan bertengkar denganku karena sudah pasti akan kalah, sehingga memilih roti manis. Aku bahkan mengira, roti manis adalah kesukaannya. Ternyata aku salah.

Aku dan Argo sama-sama menyukai roti ham. Sama-sama penyuka rasa asin dan gurih. Perut Argo akan segera bereaksi jika terlalu banyak makan makanan manis. Namun, dia tetap memilih roti manis meski masih banyak pilihan roti bercita rasa gurih lainnya di toko.

 Seperti yang kudapati di atas meja sekarang ini, saat kembali dari kantin bersama Olive. Argo yang kucari sejak tadi ternyata ada di bangkunya. Dia sedang asyik bermain ponsel dan tidak melihat kedatanganku. 

Dari luar Argo mungkin terlihat tidak peduli. Namun, keberadaan roti ham di mejaku, menunjukkan sebaliknya. Bisa dikatakan, dia cukup peduli denganku.

“Kalau masih nggak mau, buang aja.” Begitu tulisan dalam kertas kecil yang menempel di bungkusnya. 

Aku menoleh ke bangku belakang, tempat di mana Argo masih sibuk dengan ponselnya. Sudut bibirku tertarik ke samping membentuk senyuman. Aku yakin, bahwa sedetik sebelumnya, dia sedang menatapku. 

Bagaimana bisa aku berhenti menyukainya, jika hal-hal kecil yang dia lakukan selalu membuat perutku serasa dipenuhi kupu-kupu yang berterbangan? 

Argo, Argo. Aku jadi tambah suka deh. 

Buru-buru aku memasukkan roti ke tas lalu duduk dengan manis karena guru pelajaran berikutnya sudah datang. Sayangnya, materi pelajaran ini sungguh membosankan dan membuatku menguap. Kemudian sebuah ide terlintas di kepalaku. 

Lihat selengkapnya