Nana menjatuhkan tubuhnya ke sofa empuk di ruang tamu. Otaknya masih dipenuhi tanda tanya yang dia sendiri tidak bisa menjawabnya.
"Tadi beneran Bang Erick kan? Kok bisa dia di sini? Bukannya dia di Papua?" Nana meletakkan telapak tangannya di atas dahinya.
"Apa aku chat abang ya? Memastikan itu memang dia? Aduh kok aku jadi puyeng begini?" Nana kini memejamkan matanya masih dengan telapak tangan di dahinya.
"Eh ibu kenapa kok lemas begitu?" Mbak Siti, asisten rumah tangganya terkejut melihatnya terduduk lemas di sofa.
Wanita setengah baya itu segera menghampirinya dengan sapu dan kemoceng di kedua tangannya.
"Ibu nggak kesurupan kan?" Mbak Siti menatapnya cemas.
"Hadew Mbak Siti! Ya nggaklah! Saya pusing, kepalaku cenat cenut rasanya." Keluh Nana yang kini memijit dahinya.
"Kenapa lagi Bu? Disuruh nikah lagi sama kanjeng mami? Atau ada yang cemburu takut suaminya direbut ibu?" Mbak Siti bertanya dengan santai sambil membersihkan kaca jendela-jendela ruang tamu dengan kemocengnya.
"Aih tambah cenat cenut kepalaku mbak!" Teriak Nana sambil melemparkan bantal kursi pada Mbak Siti yang menghindar dan tertawa terkekeh menggodanya.
"Mbak Siti kenal tetangga sebelah rumah nggak?" Nana menegakkan tubuhnya, memeluk bantal menatap asisten rumah tangganya yang masih sibuk membersihkan debu-debu di kursi dan meja di depannya setelah selesai membersihkan kaca-kaca jendela.
"Tetangga sebelah kanan apa kiri Bu?" Mbak Siti justru berbalik bertanya.
"Etdah! Tetangga baru kita lho mbak! Yang sebelah kanan, rumahnya Ibu Ruli kan! Hadew!" Nana kembali hendak melemparkan bantal pada wanita yang sudah bekerja padanya semenjak dia masih tinggal dengan orang tuanya.
"Eh ibu! Jangan main lempar-lempar! Itu Ibu Tania, dia baru saja pindah ke sini sekitar enam bulan lalu. Suaminya namanya Pak Erick dan anaknya, Alvin. Tadi lho yang nganterin Omil ke sini." Mbak Siti menjelaskan panjang lebar.
"Erick? Beneran mbak, namanya Erick? Papanya Alvin?" Nana menatap Mbak Siti serius.
"Iya Bu. Sewaktu mereka pindah kemari, ibu masih di Singapura. Jadi wajar saja ibu baru-baru ini melihat mereka." Mbak Siti menata majalah-majalah dan beberapa buku yang bertumpuk di meja.
"Oh begitu. Kalau Alvin, saya sering lihat sih mbak. Dia kan sering main dengan kucing-kucing kita. Tapi baru tadi lho saya ketemu papanya." Nana menerawang, mengingat pria yang tadi bersama Alvin.
"Setahu saya Pak Erick jarang di rumah Bu. Kalau Bu Tania, istrinya, kadang ketemu saat arisan bulanan." Mbak Siti kembali menjelaskan.
"Kenapa Bu?" Mbak Siti kini berganti menatap Nana, mengerutkan kening.
Seingatnya, majikannya ini hampir tidak pernah mau tahu urusan tetangga sekitarnya selama tidak berhubungan dengannya. Bahkan, Nana tidak begitu akrab dengan penghuni villa di daerah mereka tinggal meski dia termasuk penghuni terlama. Selain sibuk dengan pekerjaannya, statusnya sebagai janda kerap membuatnya enggan untuk membaur karena menghindari hal-hal yang tidak diinginkannya.
"Nggak apa-apa kok mbak. Cuma tadi saya baru menyadari, saya tidak pernah melihat papanya Alvin sebelumnya, begitupun dengan mamanya." Nana beralasan demikian, meski alasan sebenarnya dia ingin tahu mengenai tetangga barunya adalah memastikan kebenaran dugaannya.
"Ibu kan memang jarang bertemu dengan tetangga di sekitar sini. Ibu sibuk banget sih." Mbak Siti kembali terkekeh.
"Iya juga mbak. Makanya jadi nggak tahu kalau punya tetangga baru." Nana tersenyum kecut.
"Iya Bu. Tapi nggak apa-apa sih daripada jadi ibu-ibu tukang ghibah atau sosialita yang sibuk tidak jelas." Mbak Siti mengerucutkan bibirnya, sembari melanjutkan pekerjaannya.
"Nggaklah mbak. Saya nggak suka ghibah juga nggak suka keluyuran nggak jelas. Masih banyak yang harus saya kerjakan mbak daripada untuk hal-hal seperti itu." Nana tersenyum manis.
"Mbak Siti masak apa buat sarapan?" Nana mengalihkan pembicaraan, melirik ke arah ruang makan.
"Saya belum masak apapun Bu. Biasanya ibu kan nggak sarapan." Mbak Siti menatapnya heran.
Nana menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan pura-pura tidak tahu keheranan asisten rumah tangganya. Selama ini Nana memang jarang sarapan dan lebih memilih untuk menyeduh kopi dan menyantap camilan ringan sebagai gantinya.
"Ibu sepertinya benar-benar kesurupan deh." Mbak Siti bergumam sendiri sambil melirik Nana yang kini bangkit dari kursinya.
Meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Diliriknya Mbak Siti yang masih bergumam tak jelas.
"Saya nggak kesurupan mbak! Cuma kepala cenat cenut doang!" Nana melemparkan bantal ke Mbak Siti dan segera melesat menuju dapur.