Nana duduk memeluk lutut di tepian kolam renang. Bertemankan segelas wine dan praline, menatap taman yang dihiasi cahaya lampu remang-remang.
Suasana di malam hari selalu saja sepi. Mengingat lingkungan sekelilingnya memang bukanlah lingkungan hunian yang ramai. Tetangga kanan kiri dan depan villa tempatnya tinggal juga merupakan villa yang sering berganti-ganti penghuninya.
Nana sendiri tidak setiap saat mendiami villa peninggalan almarhum suaminya ini. Dia lebih sering berada di Singapura atau Penang, mengawasi cabang-cabang toko rotinya.
Bukan tanpa alasan jika dia lebih memilih untuk melanglang buana daripada hidup damai di Pulau Dewata ini. Baginya ada seribu rasa sakit yang akan terkoyak kembali setiap kakinya menapaki jalanan yang pernah dilaluinya bersama almarhum suaminya.
Ada banyak kenangan yang sulit terlupakan di setiap sudut pulau Dewata yang akan mengingatkannya pada sosok yang dahulu begitu dipujanya. Bahkan hingga kini di salah satu sudut hatinya terukir namanya yang abadi.
"Ibu!" Sentuhan lembut di bahunya mengagetkan Nana.
Diva, putri sulung Mbak Siti yang terkadang menemaninya saat dia berada di villa, membawakan cardigan dan kue yang masih hangat, baru dikeluarkan dari oven.
"Diva ngagetin!" Nana menerima cardigan rajut dan mengenakannya, melapisi gaun putih model sabrina yang menampakkan bahu mulusnya.
"Praktek bikin kue apa?" Nana menerima piring kecil berisi potongan kue yang diulurkan Diva.
"Red Velvet, coba ibu cicipi." Diva tampak malu-malu.
Gadis remaja yang masih sekolah di salah satu SMK di kota Denpasar itu, memang sering membantu Nana di toko kuenya. Nana memiliki tiga toko roti yang terletak di kawasan Seminyak, Sanur, Canggu dan Denpasar.
Semenjak kecil Diva kerap diajaknya turun ke dapur dan membantunya membuat kue. Nana tersenyum dan mencuil sepotong cake itu. Menyuapkannya ke mulutnya dan membiarkan lidahnya mencecap rasa dan tekstur kue yang nampak menggoda.
"Enak! Tapi kejunya kebanyakan deh Diva. Teksturnya sudah pas, lembut dan lumer di mulut." Nana kembali mencuil dan menyuapkan kue itu ke mulutnya lagi.
"Oh begitu ya Bu." Diva meringis menyadari dia belum bisa menakar dengan tepat bahan-bahan untuk membuat kuenya.
"Iya, nggak apa-apa. Next pasti lebih baik." Nana meneguk wine-nya pelan.
"Sudah malam, kamu istirahat gih. Besok sekolah nggak?" Nana menatap gadis remaja yang kini ikut duduk di sebelahnya.
"Libur Bu. Ini kan malam Minggu." Diva tersenyum tipis.
"Aih, kamu nggak malmingan?" Nana tersenyum menggoda Diva yang kini tersenyum malu-malu.