Waktu sekolah dulu, aku pernah dengan iseng mencari arti kata basa-basi di KBBI, ternyata hal itu lumrah dilakukan khususnya di masayarakat kita hanya sebagai ungkapan sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi. Apalagi mengorek informasi kan?
Akan tetapi, dalam dunia pertetanggaan, khususnya di desaku, Desa Ubur-ubur, basabasi bisa menjadi hal yang sangat tidak masuk akal. Aku sampai heran, kenapa hidup di desa rasanya bisa serumit ini perkara basa-basi doang.
Mau nyapa cuma pake senyuman tanpa ikut basa-basi, dibilang sombong, nggak nyapa tetangga apalagi. Mau tanya ‘mau ke mana?’ atau ‘dari mana?’, kesannya kepo sama urusan orang. Nggak tanya, dibilang belagu lah, ansos lah,padahal seringnya sih aku lupa sama nama orangnya. (Jangan ditiru ya yang ini, masa sama tetangga lupa namanya.)
“Kulo nuwun, Bu Daw! Bu Daw?”
Aku langsung beranjak dari kamar dan menuju ke depan untuk melihat siapa yang datang.
“Ibuk masak, Bu. Ada apa?” Aku bertanya sehalus mungkin.
“Lho! Sari lagi di rumah? Liburan ya?”
“Eh Bu Sukem, ono opo1?” Ibuk tergopoh-gopoh dari samping pintu sambil mengelap tangannya yang basah dengan dasternya.
“Bu Daw ada kemiri? Boleh minta sedikit? Punyaku habis, tadi pas belanja mau beli, tapi lupa. Arep balik kok kadohen2.”
Melihat ibuku sudah keluar, aku kembali masuk ke kamar untuk melanjutkan pekerjaanku yang tertunda.
“Nduk, sini lho. Ada Bu Sukem. Mbok ya ngobrol-ngobrol sek. Kok malah balik ndekem di kamar wae.” Suara ibu terdengar keras dari arah dapur. Kayaknya bakal lama nih kalau sudah pindah ke dapur. Lebih lama dari sekedar beli kemiri ke tukang sayur di perempatan sana.