The worst thing about you, is that there's only one of you - Akanksha Gulia
Keira | Aiden
Setelah sambungan panggilan itu terputus, aku masih sempat terdiam beberapa saat di posisi yang sama. Kemudian aku terduduk, bola mataku bergerak ke sana kemari, lalu aku menurunkan kakiku.
Oh ayolah pria semacam Aiden, mungkin dia playboy, yang walau belum pernah ketemu, bisa saja kan dia menggombal sana-sini, walaupun hasil googling tak menunjukkan skandal apapun soal dia dan wanita, bukan berarti dia bersih kan?!
Aku pun mulai berjalan mondar-mandir di kamarku yang tak luas ini. Padahal biasanya aku tinggal menolak saja kalau ada yang bilang suka, cinta atau apalah itu. Kenapa sekarang harus beda. "Ok Keira, tinggal tolak, toh kamu gak kenal dia," ucapku sambil menghadap cermin di kamarku.
Tak lama HPku berdering lagi, kupasang kembali headset di telingaku.
"Ya ...."
"Keira, makasih masih mau angkat teleponnya, umh, yang tadi ... " dia berhenti sejenak kemudian kudengar dia melanjutkan setelah menghembuskan napas sebelumnya, "huft, aneh ya? Pasti iya, aku juga. Look, aku juga nggak tahu kenapa aku bicara seperti itu, tapi bukan berarti aku nggak serius juga. Mungkin karena bicara denganmu begitu nyaman." Aku masih terdiam mendengarkan dia.
"Hubunganku dengan wanita nggak pernah beruntung, seringkali ketemunya dengan mereka yang mempunyai radar di mana adanya pundi-pundi uang, bukannya sombong, tapi aku lelah dengan hubungan yang fake begitu, that's why? Aku sudah lama nggak menjalin hubungan serius akhir-akhir ini.
"Say something, Keira." Panggilan dia akan namaku menarikku kembali ke dunia nyata. Entah ke mana sejenak jiwaku mengembara barusan.
"Aku juga suka uang, suka banget malah," jawabku mencoba mencairkan suasana.
"Ya, of course, aku jugalah, siapa yang enggak. Look, Keira, jangan terbebani dengan ucapanku tadi, aku senang bisa mengenal perempuan jujur seperti kamu, aku tetap pengin kita bisa ngobrol gini, so ... kalau kamu nggak suka dengan pernyataanku tadi, skip aja ya!" Kata-katanya mencoba meyakinkanku lagi.
"Kamu udah makan?" tanyaku padanya.
"Hah?"
"Tadi katanya lapar dan mau pesan makan kan, jadi udah makan belum?"
"Gimana bisa makan, enggak jadi pesan tadi kepikiran kalau kamu marah terus nggak mau nerima telepon dariku lagi."
"Makan sana, nanti telepon lagi." Aku pun sudah mulai santai lagi.
"Are you okay?" tanyanya kemudian.
"Iya okay kok, soal tadi, aku nggak tahu musti bilang apa, kita baru saling chat dua harian ini, so I really don't know. Jadi biarin aja ngalir, kita ngobrol, kita sharing dan anyway aku masih harus balikin HP temenmu itu, si Refly."
"Yeah, I know, makasih, okay kali ini aku pesan makanan dulu, talk later?"
"Sure," jawabku seraya tersenyum.
***
Selasa siang aku ke kampus hanya untuk mengurus progress proposal magang, dari kampus aku meluncur ke Kantor Kecamatan tempatku nanti akan menjalani magang terakhirku.
Aku sempat mampir J.co untuk membeli selusin donat untuk buah tangan buat para ibu-ibu dan beberapa bapak mungkin, yang sudah sangat baik di masa magangku sebelumnya.
"Keiraaaa ... Ya Allah kangennya, Nak sama kamu," sambut Bu Asih, seorang ibu yang selalu tampak bersemangat dan di kecamatan ini bekerja di bagian keuangan. Aku pun langsung mencium tangannya, layaknya salim pada orang tua, karena memang ibu ini baik dan sangat kooperatif.
"Assalamu'alaikum, Bu, apa kabar?" sapaku padanya.
"Wa'alaikumussalam, Kei. Kabar ibu baek, kamu gimana? Sehat? Tambah cantik aja," balasnya.
"Ibu bisa aja, Ibu juga tambah cantik kok." Kami pun tertawa bersama.
"Eh gimana, kamu jadi kan magang di sini lagi, Kei? Katanya mau buatkan website buat kecamatan ini," tanya Bu Asih dengan pembawaannya yang ceria padaku, tapi baru saja aku mau membuka mulutku, "Kei, kamu kok bisa makin cantik gini sih? Gini-gini ... Ibu mau jodohin kamu sama anak ibu deh, mau nggak kamu, mau ya, ya ya?" Tiba-tiba saja dengan bicara yang super cepat ibu Asih mau menjodohkan, mau apa?? wait, wait, wait.
"Ibu ini, hahaha hari gini sudah nggak jamanlah Bu yang namanya dijodohin, anaknya Ibu juga belum tentu mau sama saya."
"Pasti maulah, orang kamunya cantik gini, udah gitu pinter lagi, sholatnya rajin, cuman tinggal satu, kalau pakai hijab pasti makin cantik, sempurna pokoknya." Jleb banget omongan ni ibu, aku emang juga sudah lama ingin pakai hijab, tapi dengan pekerjaan yang sekarang masih kujalani, aku masih maju mundur lagi jadinya.
Sembari tersenyum akhirnya kujawab, "Aamiin Bu, do'akan Keira segera dapat hidayah ya Bu, biar tambah cantik kaya Ibu."
"Hahaha, kamu ini bisa aja lho." Bu Asih semringah mendengar pujianku barusan, semoga cukup mengalihkan dari pikiran soal perjodohan tadi.
"Oh iya Bu, Keira bawa sedikit makanan, buat Ibu sama teman-teman Ibu, tapi maaf Bu, nggak banyak," ujarku seraya menyerahkan kotak yang berisi selusin donat.
"Aduh Kei, kamu ini lho kok repot aja, tapi makasih ya." Diterimanya kotak tersebut dengan senyum lebarnya. Yang kusuka dari Bu Asih memang murah senyumnya.
"Eh, tapi Ibu serius lho tadi soal anak Ibu, ya minimal kalian kenalan dululah, mau ya?" rayu Bu Asih, ternyata aku salah, Bu Asih masih belum menyerah.
"Aaah ... umh ... iya deh Bu, kenalan aja kan?" Aku pun tidak bisa mengelak masa mau dikenalin saja aku menolak, siapa aku mau segitu sombongnya.
"Lhoh ada Keira tohhh?" Aku menoleh dan menyadari kedatangan Bu Riani, aku pun refleks berdiri dan mencium tangannya seperti yang tadi kulakukan pada Bu Asih.
"Udah mulai magang lagi di sini?" tanya Bu Riani.
"Belum Bu, baru main aja, tadi dari Kampus langsung ke sini."
"Ini lho dibawain J.Co sama Keira," ujar Bu Asih pada Bu Riani.
"Aduh kamu ini repot aja, makasih lho ya, pas banget ibu lagi cari cemilan ini," kata Bu Riani.
"Sama-sama Bu, maaf nggak banyak."
Kami pun masih ngobrol bertiga, sampai Mas Satrio si sekretaris yang alim itu lewat di depan kami.