"Setiap hari bagiku adalah tentang emansipasi suami, tidak kalahlah dengan ibu kartini, kalau wanita bisa menjalani pekerjaan pria, mengapa aku tidak boleh jadi bapak rumah tangga, ada-ada aja emak-emak sebelah masih saja gosip pagi-pagi." Ujar Pandu meracau berjalan masuk kedapur sambil menenteng sayur yang baru saja ia ambil
Bagi banyak sekali mata nyinyir diluar sana mungkin akan terlihat aneh melihat pilihan yang Pandu ambil. Menjadi stay home husband, begitulah nama keren dari Bapak Rumah Tangga. Tentu saja ini bukan pilihan keterpaksaan. Bahkan pandu dengan bangga akan pilihannya sebagai bentuk dari emansipasi suami.
Menurut Pandu kalau wanita berhak memilih untuk mendapatkan tempat sejajar dengan kaum pria, menjalankan kebebasan berkarir dan berkarya sama dengan kaum pria, maka lelaki juga berhak mendapatkan hal yang sama memilih untuk mengerjakan apa yang bisa di lakukan seorang istri dirumah.
Keputusannya bukan sebuah kesalahan. Dalam kondisinya memang harus ada yang harus mengambil peran untuk selalu berada dirumah, mengingat mereka memiliki seorang anak perempuan yang masih berusia lima tahun bernama Naya. Ini bukan tentang siapa yang harus berkorban atau mengalah namun lebih dari itu. Ini merupakan bentuk tanggung jawab sebagai orang tua yang harus menyertai perkembangan anak di era saat ini.
Pagi itu seperti biasanya pandu menyiapkan segala keperluan bekerja istrinya Chintya dan sekolah taman kanak-kanak anak perempuan paling cantik sedunia bernama Naya. Sudah jadi kebiasaan seorang pandu berkutat dengan bunyi-bunyian khas dedapuran di setiap pagi.
Bunyi air mendidih yang nantinya akan ia gunakan untuk menyeduh teh hangat, bunyi roti tawar yang keluar dari toaster, bunyi spatula yang menghantam wajan ketika membuat masakan sederhana untuk sarapan, hingga detak jam yang menandakan sejauh mana ia dapat mempersiapkan sajian pagi untuk dua tuan putri yang tinggal serumah dengannya. Ia sampai hafal setiap tatanan waktu rutinitas pagi hari di rumahnya. Ia harus menyelesaikan segala sarapan sebelum membangunkan Chintya dan anaknya Naya.
Setelah sarapan pagi tampil apik di atas meja makan, baru seorang Pandu bergerak ke tugas berikutnya, menggendok putri kecilnya guna membangunkannya perlahan.
“Ayo Naya, waktunya sekolah sayang,” Ujar Pandu mengelus kepala anaknya, lalu kemudian mencoba menggendong Naya perlahan, Naya yang masih belum memulihkan kesadarannya seratus persen lebih memilih memasrahkan dagu kecilnya pada Pundak ayahnya.
“Sekarang kita bangunin mama yuk,” ajak Pandu ke putri kecilnya. Naya tidak banyak berkata apa, hanya mengangguk kecil tanda setuju.
Pandu lalu berjalan menuju kamar Chintya. Dia duduk di samping istrinya dan perlahan mengoyangkan bahu istrinya dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya masih menahan Naya yang masih ada di gendongannya.
“Sayang, sudah pagi, kamu ada jadwal meeting pagi ini bukan?” Pandu membangunkan istrinya Chintya.
“Mama, bangun, ayo bangun,” Naya mengikuti apa yang dilakukan Ayahnya.
Tubuh Chintya mengulet perlahan, tak perlu waktu lama dan usaha lebih keras Chintya sudah langsung membuka kedua bola matanya.
“Selamat pagi putri mama yang lucu,” Chintya langsung menyapa putri kecilnya yang dari wajahnya masih tersisa kantuk semalam. “Selamat pagi suami terhebatku,” Ujar Chintya lagi, kali ini untuk suami yang paling ia cintai. Selalu sama setiap pagi. Bukan sebuah pujian basa basi, ini pujian tulus dari hati seorang istri. Chintya sadar tanpa Pandu mungkin kehidupannya tidak akan seindah seperti saat ini, punya suami yang pengertian, punya anak yang lucu, dan tentunya rumah yang benar-benar layaknya istana bagi siapa pun yang tinggal di dalamnya.