Chintya
Suara Pandu dan semangatnya Naya seolah jadi obat paling mujarab untuk penghilang penat setiap kali bangun pagi. Aku merasa orang paling berbahagia memiliki keduanya. Suami yang pengertian dan anak perempuan paling lucu.
Anak perempuanku sudah ada di sebelahku setelah baru saja memberikan goyangan penuh gemas karena ibunya belum bangun dari tidurnya. Langsung saja kupeluk tubuh kecilnya.
“Selamat pagi putri mama yang lucu,” perlahan ku rapikan rambut Naya yang awut-awutan. Bagiku tidak merasa aneh dengan tampilan putriku pagi ini, baju tidur yang Naya tidak seragam atas dan bawahannya. Aku tak ingin banyak complain, bagi ku Pandu sudah dengan sabar menjalani pertukaran ini saja sudah sangat besar pengorbanan yang ia lakukan.
Aku tatap laki-laki paling istimewa dirumah ini.
“Selamat pagi suami terhebatku,” Ujarku tegas karena memang begitu suamiku Pandu.
Terhebat dimataku, sosok yang tidak pernah membuatku menyesal telah memilihnya mendampingiku sejauh ini.
Sosok yang belakangan ini sedikit mendapat perhatian dari ku. “Maafkan aku, Aku sepertinya terlalu penat dengan segala urusan perusahaan, Aku janji sedikit lagi, setelah semuanya kelar, kita akan punya banyak sekali waktu untuk bersama,” Ujar ku dalam hati karena tak ingin menambah lelahnya Pandu. Aku memilih menyimpan sendiri lelahku.
Aku ingat setiap malam aku pulang cukup larut bagi seorang ibu, kadang jam Sembilan, pernah bahkan hampir jam sepuluh malam. Setiap kali aku ingin masuk pintu rumah, aku meluangkan waktu sekitar lima sampai sepuluh detik berdiri diam dibalik pintu. Aku berusaha meninggalkan setidaknya sepertiga penatku di luar rumah. Aku tidak ingin Pandu melihat lelahku. Walaupun aku sadar tidak mungkin semua lelahku terlepas dalam waktu semenjana itu. Terlalu singkat, tapi aku berusaha tak terlihat lelah.
Aku selalu masuk ke ruang tamu dengan kondisi lampu utama sudah dipadamkan, tidak terlalu gelap karena masih ada lampu remang dekat sofa yang menyala, disitu pula aku biasa melihat Pandu ketiduran menungguku pulang. Pemandangan paling murni dari seorang pria yang aku cintai. Aku tidak sanggup membangunkannya dengan kondisi seperti ini, kudekati suamiku perlahan sekali. Aku tidak ingin membuat bebunyian yang membuatnya terjaga tiba-tiba. Godaan untuk membelai dahi dan rambutnya yang selalu tak tertahankan olehku. Aku tak sanggup melihat wajah lelah itu. Wajah lelah seorang ayah yang belakangan mengikhlaskan dirinya bertukar peran dengan ku. Wajah lelah karena bangun paling pagi dan tidur tidak pada tempat seharusnya karena menungguku pulang.
Tidak sampai sepuluh detik tanganku membelai dahi dan mengusap rambutnya, Mata lentera paling ku andalkan dirumah ini sudah menyala. Ia terbangun karena ulahku.
“Sudah pulang, kamu pasti cape, mau aku bikinin minuman hangat?” ujarnya langsung terduduk dengan sigap. “Sudah kamu mandi dahulu sana, biar aku siapkan minuman hangatnya,”
Tak ingin mendebat apa yang sudah menjadi titah pandu, aku pun memilih segera melakukan apa yang ia pinta.
…………………………………………………….
“Ayo segera bersiap-siap, kamu kan ada meeting pagi ini, seperti biasa kan?” ujar Pandu menyadarkan lamunanku. “Aku sudah menyiapkan sarapan,” Lanjutnya
Ia memang paling mengerti aku. “Kamu yang sabar suamiku, menghadapi aku” Ucapku kepada Pandu.
“Aku akan selalu disini, menunggu saat itu tiba,” Jawab pandu lalu mengecup kening ku.
Pandu
“Ayah, Bunda kapan pulang,” tanya Naya kepadaku