Senja yang muram.
Gadis itu menghanyutkan pandangannya perlahan ke arah barat. Matahari tersisa separuh, membuatnya seolah-olah tenggelam di permukaan laut. Perjalanan sang hari akan segera berakhir.
Senja bukanlah pertanda berakhirnya hari. Senja hanyalah tanda koma yang membatasi antara siang dan malam. Akan ada pergantian cerita dan nuansa yang menyertai transisi siang menuju malam. Mungkin karena itulah senja selalu menjadi momen istimewa yang terasa sayang untuk dilewatkan.
Mungkin ia memang telah jatuh cinta kepada senja, pikirnya pada suatu hari. Saat-saat yang tepat untuk melepas penat menjalani hari-hari yang lelah dan tidak selalu menyenangkan. Baginya, senja memiliki arti lebih dari momen untuk menutup hari. Senja juga menyimpan banyak cerita dan kenangan indah yang tak mungkin lenyap dari benaknya. Berbagai cerita dan nuansa yang selama ini ia kira hanya dapat ia nikmati lewat layar film dan lukisan, ada dan tampak begitu nyata di saat senja. Ketika sudah mendekati waktu-waktu petang, ia hanya perlu berkemas dan berhenti sejenak dari berbagai kesibukkannya, kemudian mencari tempat yang lebih tinggi dan sepi.
Dan momen yang indah nan romantis yang sarat dengan nuansa magis itupun tercipta.
Beberapa jenak ia terhanyut dalam pesona senja berbiaskan warna jingga di tengah laut. Hanya sesekali terdengar debur ombak yang beradu dengan kapal. Di sisi lain kapal tampak sepasang kekasih tengah berciuman. Namun dirinya masih bergeming. Baginya, senja jauh lebih menarik daripada itu semua. Bahkan berbagai urusannya di seberang pulang sana pun ia tinggalkan demi menyaksikan peristiwa yang—baginya—sakral ini.
Selain senja, gadis ini juga begitu mencintai kesendirian. Sunyi, senyap, dan tanpa nada. Dalam kesendirian itu ia akan menciptakan nada dan lagunya sendiri. Dalam kesunyian, justru ia menemukan makna tersimpan dan kedamaian yang mungkin tak akan ditemukannya jika berada di tengah keramaian.
Sepi.
Hening.