Thantophobia : Rasa Takut Kehilangan Orang yang Dicintai

ahmad dicka hudzaifi
Chapter #2

Bab 1 : Seseorang yang Menunggu

       Pagi hari itu Lintang terbangunkan oleh sinar matahari yang menerobos lewat jendela. Tak seperti biasanya, pagi membiarkannya terlelap lebih lama. Apalagi keadaan cottage ini begitu hening dan nyaman.

           Sedikit tergesa-gesa Lintang bangkit dari tempat tidurnya kemudian berjalan menuju kamar mandi. Seharusnya ia tidak lupa bahwa ia tinggal sendiri di cottage ini. Segalanya harus dipersiapkan sendiri. Termasuk rencananya hari ini berjalan-jalan ke pantai yang diceritakan oleh ayahnya di masa kecil dulu.

           Air shower hangat mengguyur tubuhnya. Semalam seorang pria paruh baya yang memperkenalkan diri sebagai sahabat lama ayahnya menyambutnya dengan ramah di pelabuh-an. Ia lalu dengan sukarela mengantarkannya ke cottage milik ayahnya ini, bahkan menawarkan bantuan apabila sewaktu-waktu ia membutuhkan sesuatu. Perlakuan hangat yang hanya dapat ditanggapinya dengan senyuman dan sepatah dua patah jawaban kaku, sangat jarang seseorang—terlebih yang baru dikenal—memperlakukannya sebaik ini.

           Ayahnya sedang dalam perjalanan penting ke luar negeri. Beberapa waktu yang lalu Ayah menghubunginya via telepon—itu adalah teleponnya yang pertama sejak bertahun-tahun kedua orangtuanya bercerai. Sebuah tawaran berlibur disambut Lintang dengan ragu-ragu setelah sebelumnya ia menceritakan banyak hal.

           Dan di sinilah ia sekarang—cottage mewah yang terletak tak jauh dari pantai.  Yang apabila memandang ke arah utara tampak jajaran pegunungan dan tebing-tebing kapur nan indah. Jalan berkelak-kelok khas dataran yang belum banyak terjamah. Agak terasingkan dari mana-mana, bahkan untuk mencapai tempat ini pun memerlukan perjalanan darat selama hampir dua jam dari pelabuhan. Waktu seakan berjalan lebih lambat di tempat ini. Namun justru itulah yang Lintang butuhkan.

           Dengan rambut setengah basah Lintang membuka tirai jendela dan pintu lebar-lebar. Hawa dingin yang menembus kulit segera menerobos masuk. Bukan dinginnya pagi, melainkan tatapan pria yang berada di seberang cottage-nya.

           Sepasang mata tajam itu memandangnya. Sepertinya kehadirannya sedikit mengusik lamunan pemuda itu. Lintang berusaha tersenyum ramah, sekedar ingin memulai hubungan yang baik dengan tetangga baru. Sempat terdiam tanpa melakukan apapun selama beberapa jenak, pemuda itu hanya mengangguk pelan. Seandainya mata elang itu tak menatap ke arahnya, mungkin Lintang akan mengira sosok itu sama sekali tak menganggap kehadirannya.

           Merasa mendapatkan tanggapan kurang ramah, Lintang buru-buru menutup kembali pintu dan jendela cottage. Pasti sosok tampan berkulit putih bersih itu terheran-heran melihatnya. Namun ia buru-buru menepis pikiran semacam itu. Yang perlu ia lakukan sekarang hanyalah segera bersiap-siap untuk pergi ke pantai.

***

           Sejauh mata memandang yang tampak hanyalah lautan biru kehijauan dan belantara tebing yang membingkai pantai dengan indahnya. Jalan yang dilaluinya sepanjang pantai adalah pasir yang masih bersih dan lembut. Permukaan air laut sekilas berkilauan tertimpa sinar matahari. Terumbu karang, pasir putih, dan pepohonan rindang di seputar pantai. Ombak yang bergulung-gulung di kejauhan, juga sebuah dermaga yang terkesan agak kusam dan tak terawat. Lintang menduga itu adalah dermaga yang diceritakan oleh Ayah. Dulu, dulu sekali.

           Beberapa ratus meter dari pantai tampak sebuah mercussuar. Angin bertiup sepoi-sepoi, seperti membawa pesan dari jauh. Lautan biru dan berkilauan dengan pasir putih nan bersih. Pemandangan di tempat ini tampak dramatis, sungguh. Seputar pantai membingkai lautan dengan begitu sempurna, Di tempat seperti ini biasanya banyak terlahir inspirasi untuk menulis puisi-puisi dan cerita yang indah. 

           Ayah pernah bercerita mengenai sebuah desa terpencil yang berada di sebuah pulau kecil. Masih sangat jarang penduduk yang tinggal di sana. Jangankan jalan menuju akses penting seperti puskesmas, pelabuhan, dan grosir makanan, untuk mendapatkan air bersih pun harus menempuh jalur yang jauh dan berliku. Listrik dan saluran air belum masuk ke wilayah itu. Sampai akhirnya, pada suatu hari seorang anak muda kembali ke tanah kelahirannya itu dengan membawa mimpi-mimpi yang telah terwujudkan. Kemudian ia mulai membangun cottage dan berbagai akses yang lalu memudahkan penduduk sekitar.

           Lintang tak pernah menyia-nyiakan pemandangan indah seperti ini begitu saja. Ia lalu mulai membidik lensa kameranya. Tidak sulit menemukan sudut-sudut indah di pantai ini. Namun ia tetap saja berupaya menemukan titik-titik terbaik demi mendapatkan hasil yang paling sempurna. Semua orang di media sosialnya pasti akan terkagum-kagum melihat ini semua.

           Hening selama beberapa jenak, tak ada wisatawan atau siapapun yang melintas.      Lintang segera teringat oleh sesuatu. Ia kemudian mengeluarkan smartphone miliknya. Lintang menghela nafas lega, sinyal masih sanggup menjangkau tempat terpencil ini dengan baik. Jempolnya menggeser-geser layar ponsel, tak beberapa lama kemudian seraut wajah muncul di layar berdiameter 4,7 inch itu.

           ’’Oliv!’’ Lintang memekik girang.

           ’’Hey! Gimana? Lo udah nyampe di sana?’’ Gadis di layar ponsel itu tak kalah antusias dengan Lintang.

           Lintang tak menjawab, ia hanya mengarahkan layar ponselnya ke sekitarnya. Terdengar pekik kekaguman dari ponselnya.

           ’’Ya ampun, Lintaaang, ini beneran elo lagi di Indonesia, bukan di Hawaii? Sumpah,      gue iri banget! Elo suka banget ya bikin surprise-surprise gitu, pake baru bilang beberapa jam sebelum berangkat lagi kalo mau pergi ke tempat beginian sendiri. True definition of ninja tahu gak sih. Tahu-tahu udah ada di tempat berjarak sekian ribu kilometer dari Jakarta aja.’’

           Lintang tertawa kecil. Ia kemudian berjalan menuju dermaga dan sengaja memilih sebuah spot yang tepat menghadap laut agar Oliv juga dapat melihat pantai dan sekitarnya dengan lebih leluasa.

           ’’Eh, by the way, elo sendirian aja nih di tempat itu? Kok sepi banget dah perasaan.’’ komentar Oliv, seperti mulai menyadari sesuatu.

           Lintang mengamati sekelilingnya. Pantai ini memanglah sepi, nyaris senyap. Hanya terdengar desau angin dan suara ombak. Sepanjang perjalanan menuju pantai pun ia hanya bertemu dengan seorang penduduk setempat yang sempat menunjukkan arah menuju pantai. Musim liburan memang masih jauh di depan mata, namun sedikit sulit mempercayai pantai seindah ini begitu sepi pengunjung. 

           Lintang mengedikan bahu. ’’Ya gitu deh. Daritadi juga sepi banget. Masih kepagian kali.’’

           ’’Hell-ooo, kepagian gimana sih, Lintang, ini udah hampir jam 10 kali. Nggak takut apa lo sendirian di tempat asing dan terpencil gitu?’’

           Lintang menggigiti bibirnya, seperti berpikir. ’’Entahlah, Liv, kantor polisi,  puskesmas, dan akses-akses penting lainnya jauh banget dari sini. Beberapa malah adanya di pulau seberang. Sebenernya gue juga rada gimana gitu. Masalahnya tempat ini sepi banget.’’

           ’’Nah loh, gimana tuh, Tang? Lo mau berapa lama di sana?’’

           Lintang menghela nafas, lalu menjawab pertanyaan itu nyaris tanpa nada. ’’Justru ini yang gue butuhkan, Liv. Bahkan elo sekalipun, nggak ada yang bener-bener bisa memahami perasaan gue sekarang. Setelah semua yang terjadi sama gue.’’

           Oliv yang terhubung via video-call dengannya itu sempat terkesiap dengan jawaban yang meleset dari perkiraan. Ia sama sekali tak bermaksud membuat Lintang teringat kesedihannya. Hening selama beberapa jenak, sinar mata Lintang meredup.

           ’’Yaudah lah, Tang, elo tenang-tenang aja di sana yaa. Tenangin diri lo dulu, terkadang seseorang memang membutuhkan waktu untuk sendiri, benar-benar sendiri tanpa siapapun. Menyendiri bersama alam dan desau angin pantai mungkin bisa membuat elo merasa lebih baik. Everything’s gonna be better.’’

           Hening.

           ’’Apa... gue masih layak bahagia seperti dulu, Liv?’’

           ’’Elu layak untuk bahagia, Tang, sungguh.’’ jawab Oliv, berusaha meyakinkan Lintang. ’’gue kenal lu sejak lama, gue tahu lu pantas dapat yang lebih baik. Things will get better. It may stormy now, but it never rains forever.’’

           Lintang mengangguk pelan, kemudian memandang Oliv dengan berkaca-kaca.’’Iya, Liv, makasih banget. Elo memang sahabat terbaik gue.’’

           ’’Elo orang baik, Tang,’’ ucap Oliv, tampak bersungguh-sungguh. ’’elo juga punya potensi yang luar biasa. Sayang aja gitu kalo itu semua tersia-siakan cuma karena…errr, hal yang menurut gue nggak banget, gitu. Selama ini gue tahu, lo punya dunia sendiri yang bahkan untuk gue sendiri sebagai sahabat lo aja sama sekali nggak bisa untuk memasukinya atau sekedar untuk mengetahui dunia macam apa sebenarnya itu. Dan mungkin sekarang ini adalah saat yang paling tepat untuk elo menikmati dunia lo itu sendiri. Benar-benar sendiri tanpa gangguan orang lain. Lakukan semua yang elo mau, Tang, lakukan hal-hal yang bisa membuat elo bahagia. Elo berhak untuk itu semua.’’

           Lintang tercenung. ’’Apakah gue akan selalu sendiri seperti ini?’’

           ’’Enggak. Ada gue di sini.’’

           ’’Masalah Pak Ari, Liv, sebenernya gue…’’

           ’’Lintang, gue serius ngomong masalah ini. Tapi elo udah terlalu lama menutup mata. Move on! Dia udah sangat jauh dari jangkauan lo. Elo gak pantas mengharapkan dia, begitupun sebaliknya. Terlepas dari bener enggaknya cerita-cerita yang gue tahu dan gue dengar langsung dari elo, kayaknya elo memang harus melepaskan dia deh. Gue selalu berusaha ngertiin lo selama ini. Tapi sehancur apapun perasaan lo, elo harus tetep inget, dia udah jadi suami orang, Lintang…’’

           Lintang terdiam. Nada dan ekspresi Oliv mengeras. Tak seperti biasanya Oliv seperti   ini.

           ’’Papa meninggalkan gue dan Mama demi perempuan lain. Gue tahu gimana sakitnya itu. Sangat tahu. Dunia seperti nggak berpihak pada kami, gue merasa terbuang dan tersingkirkan. Bahkan sampai detik ini, gue dan Mama sama-sama nggak tahu di mana Papa berada. Masih hidupkah, atau…’’ Oliv tidak sanggup melanjutkan lagi kata-katanya. Dari layar ponselnya, Lintang dapat melihat dengan jelas gurat-gurat ketertekanan dan kesedihan berbaur pada wajah Oliv.

           ’’Maaf ya, Liv, gue…’’

           ’’Enggak, nggak usah minta maaf, Tang. Justru lo salah kalo minta maaf sama gue.  Yang terpenting sekarang, sahabat gue nggak akan melakukan hal-hal bodoh. Elo sahabat gue, sampai kapanpun...’’

Lihat selengkapnya