Thantophobia : Rasa Takut Kehilangan Orang yang Dicintai

ahmad dicka hudzaifi
Chapter #3

Bab 2 : Pertama Kali Setelah Sekian Lama

       Aku melihatnya, seorang gadis kikuk yang hari ini mulai menempati cottage tetangga.

           Pertama kali pintu cottage-nya terbuka, gadis itu sempat celingak-celinguk sejenak sebelum akhirnya ia memandang tepat kearahku. Yang kemudian tampak adalah sesungging senyuman manis dan kedua matanya yang membentuk sepasang bulan sabit kecil yang indah. Mungkin ia mengira ini adalah pertemuan pertama sehingga ia merasa perlu memberikan kesan yang baik. Padahal tidak, menjelang tengah malam sebelumnya aku lebih dahulu melihatnya melalui celah gorden. Memperhatikan gadis itu turun dari sebuah mobil tua dengan menyeret koper besar, mengamati kecanggungan dan keraguan yang membayang sekilas di wajahnya ketika memandang keadaan sekitar. Mungkin ia merasa perlu membiasakan diri, dan kau tahu? Tidak ada yang lebih menggemaskan daripada itu semua.

           Cara bicaranya lembut, kepolosan dan kecanggungan adalah yang pertama kali tampak dari sosoknya yang lembut. Kurasa aku tidak perlu terang-terangan memasang garis pembatas, karena ia dengan sendirinya pun menyadari bahwa aku bukanlah sosok yang mudah didekati.

           Paras ayunya terlihat penuh kegamangan, namun saat aku berbicara dengannya ia masih berusaha tersenyum dan memasang raut manis. Aku suka itu, bagaimana kemudian ia tetap menghargaiku namun tidak sedikitpun mengusikku. Bahkan ketika aku memintanya pergi dari dermaga tempat favoritku menyendiri, ia mau meninggalkanku meski dengan seberkas kekecewaan yang berusaha iasembunyikan. Tanpa kata-kata, tanpa sedikitpun gerak penolakan. Benar-benar gadis yang manis dan penurut.

           Malam ini ia datang, membawa sebingkis makanan. Kusambut ia dengan sorak-sorak di dalam hati yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, namun beruntung dapat kututupi dengan sempurna. Tanpa sadar kupercepat gerak memasakku, sambil terus berharap sop iga yang sedang kumasak kala itu bisa dihidangkan lebih cepat dari biasanya. Biasanya aku begitu menikmati proses memasak, sambil memastikan segalanya berjalan dengan sempurna. Tapi kali ini tidak, sebab tamu yang sedang bertandang pun lain dari biasanya.

           Aku bukan tipikal yang piawai membaca hati. Namun yang terlihat di depan mata begitu jelas. Gadis itu tampak gamang dan ragu dengan setiap jalan yang akan diambilnya. Sorot matanya bening, namun selalu terlihat seperti seseorang yang membutuhkan bantuan. Melankolis, manis, namun menyimpan seribu misteri yang sarat kesan humanis.

           Seharusnya aku tak perlu terlalu lama berteka-teki, sebab orang yang datang ke tempat ini sendiri pun biasanya mempunyai masalah dan ceritanya tersendiri, dengan masa lalu. Begitupun diriku.

Ada rasa iba dan sedikit gemas yang terbit setiap kali melihat sosoknya yang terlalu terkesan lemah lembut dan lambat. Tidakkah ia sadar, bahwa arus waktu begitu cepat berputar? Jika seseorang tidak bergerak cepat, bukan tidak mungkin ia akan terjebak pada pusaran waktu tidak berujung yang menyesatkan dan sia-sia. Hampa.

           Ia memasuki ruang sepiku dengan caranya sendiri. Serupa kejutan tak terduga ketika aku hampir saja menyerah. Dan aku pun tahu, bahwa hari-hariku setelah ini tidak akan sama lagi dengan sebelumnya.

           Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku melihat seseorang yang datang bukan sebagai pengganggu.

***

           Pantai tampak berkilau bahkan ketika hari masih begitu muda. Ombak bergulung-gulung di kejauhan, seolah berlomba-lomba hendak mencapai pantai. Sepanjang jalan di pantai yang berupa pasir putih nan halus ditemukan beberapa bintang laut. Menandakan bahwa air laut sedang mengalami pasang.

Angin menerpa rambut panjang terurai Lintang ke belakang. Udara masih begitu bersih dan segar, mungkin karena itulah pagi selalu menjadi awal yang baik untuk memulai hari. 

           Pagi-pagi sekali Lintang sudah bangun dan bersiap-siap menuju pantai. Matahari belum terlalu tinggi, namun ia sudah mempersiapkan sejumlah barang yang sekiranya dibutuhkan seperti surfing board, leash atau tali pengikat kaki, pelembab dan anti-uv, sebotol air mineral, handuk, dan perlengkapan menyelam lainnya. Pertama kalinya setelah sekian lama, ia kembali lagi ke laut untuk berselancar.

           Lintang memang sudah bertekad berangkat ke pantai lebih dini untuk menghindari per- temuan dengan Dio. Sekilas cottage Dio terlihat hening tadi ketika ia berangkat menuju pantai. Pria yang tinggal sendiri biasanya tidur larut malam, kecil kemungkinan di penghujung subuh begini ia sudah terbangun.

           Lintang tersenyum. Sembari menikmati keindahan matahari terbit dan melakukan pemanasan, ia kemudian memutar kembali memorinya ke belakang. Apa saja yang sudah terjadi, bagaimana kisah masa lalu yang kurang menyenangkan justru mengantarkannya sampai ke tempat ini, dan betapa indahnya melihat ke belakang dari titik tempatnya berpijak kini.

           Hari itu adalah hari pertamanya masuk kelas setelah beberapa minggu dirawat inap di rumah sakit. Canggung, langkahnya menyusuri lorong sekolah dengan sepasang tangannya yang mengepal lemah. Beberapa siswi berseragam sama dengannya yang berpapasan dengan dirinya di sepanjang lorong itu hanya memandang sekilas ke arahnya tanpa menyapa lalu kembali larut pada obrolan dan urusannya masing-masing.

           Sekolahnya adalah sekolah khusus putri. Itulah mengapa apabila ada seseorang dari jenis kelamin berbeda yang melintas pasti akan langsung menjadi pusat perhatian di sana. Kekhawatiran yang sulit dijelaskan dengan kata-kata menyusup dalam dadanya, menyadari agaknya berita yang beredar itu benar adanya.

           Jam pertama pagi tadi seharusnya adalah jam pelajaran favoritnya. Ia sengaja masuk sekolah lebih awal demi mata pelajaran itu. Padahal kondisinya belum pulih betul, ia tahu itu. Hampir setengah jam berlalu, guru yang seharusnya mengajar di jam pertama tak kunjung tiba. Seorang kawan yang duduk di sisi bangkunya memberitahukan sebuah berita yang lalu meng-hempaskan Lintang ke dunia tanpa suara.

           Dalam diam, Lintang menghapus air matanya. Ia lalu membuka buku biru laut bergambar hologram lumba-lumba miliknya. Buku harian itu dihadiahkan oleh seseorang sebagai wadah untuk menyalurkan hobi menulisnya. Lebih dari sekedar curahan hati, diary kecil itulah yang lalu membuka jalur baginya menuju sebuah dunia baru yang begitu memahaminya. Dunia sastra. Beberapa novel karyanya berhasil terbit dan meledak di pasaran.

           Sebelumnya dirinya begitu ceria, bergaul dengan teman-teman sekolahnya. Masa-masa putih abu-abu dia lewati dengan penuh warna-warni. Ke mall, jalan-jalan, dan membeli  barang-barang yang dia sukai dengan uang tabungannya sendiri. Sama seperti gadis-gadis seusianya, dia pun mulai mengenal cinta pertama. Dari dulu dia selalu ingin tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Bagaimana rasanya berdebar saat memandang seorang lelaki yang dia cintai?

           Suatu hari pun dirinya jatuh cinta. Cinta pertamanya adalah seorang lelaki muda yang masuk ke dalam kelasnya, duduk di kursi guru, kemudian memandang sekilas ke seluruh kelas—termasuk memandang dirinya juga. Selama beberapa jenak, tatapan Lintang dan lelaki itu saling bertemu. Dia tersenyum lembut saat melihat ke arah dirinya—mendadak waktu serasa terhenti..   

           Apakah salah seorang siswi jatuh cinta pada gurunya?

           Lintang tidak pandai mengungkapkan perasaannya pada dunia. Termasuk perihal cinta pertamanya. Namun suatu kali sang guru itu memberikan sebuah buku padanya, membuatnya berani untuk mengungkapkan kata-kata pada dunia. Sang guru melihatnya berpotensi dalam menulis novel. Padahal, yang Lintang mau hanyalah mengungkapkan cinta pada guru itu.   Dialah cinta pertamanya.

           ’’Buku ini berbeda dari buku-buku lainnya.’’ ucap gurunya itu, sembari menatap matanya. ’’kamu bisa menulis cerita dan kata-kata yang melintas dalam benak kamu, kemudian kamu tuangkan lagi dalam bentuk tulisan yang lebih matang. Saya tahu, kamu pasti bisa.’’

           Semenjak saat itulah Lintang mulai menulis. Serasa setitik api masuk ke dalam semangatnya, kemudian semakin membesar dan membesar. Dia ingin menulis tentang guru yang menjadi cinta pertamanya itu. Dia ingin mengungkapkan perasaan pada sang guru melalui  kata-kata dalam novelnya.

           Ketika Lintang sudah mendapatkan secercah harapannya, gurunya itu justru pergi. Sebagai seorang pria dewasa, guru yang diam-diam dia cintai itu harus memilih. Dia telah menemukan seorang perempuan yang membuatnya mantap untuk memilih. Dan perempuan itu bukanlah Lintang. Lintang pun merasa hancur dan kehilangan arah. Serasa semua mimpi yang dia bangun sejak lama runtuh. Semua luluh lantak dalam sekejap, harapannya benar-benar berakhir.

           Dalam diam, terbayang kembali masa-masa indah itu. Seseorang membuatnya merasa begitu istimewa di hari kemarin. Namun, seseorang yang sama juga-lah yang membuatnya sama sekali tidak diinginkan di hari ini. Dan mungkin di hari

           Lintang tidak akan melupakan masa-masa yang terpuruk itu. Ketika ia harus bertempur dengan perasaannya sendiri. Ia merasa  seolah hidupnya tak ada arti, padahal beberapa minggu berselang ujian nasional akan menjelang. Dalam puing-puing keterpurukan ia masih mampu menemukan sisa-sisa dukungan moral dari orang-orang di sekitarnya. Ujian negara pun terlalui dengan baik meskipun dengan hasil yang tidak terlalu memuaskan.

Lihat selengkapnya