Hari pelantikan ekstrakurikuler gabungan pun tiba. Saat baru di depan gerbang, Calyta melihat beberapa truk tronton yang akan membawa mereka sudah terparkir di lapangan sekolah. Calyta berjalan ke arah tronton nomor satu karena itulah tronton kelasnya. Dia melihat beberapa anak cowok termasuk Osa dan Biru sudah ada di atas tronton. Mereka sedang memasukkan dan mengatur tas-tas milik para murid.
“Karen belum datang?” tanya Calyta pada Osa dan Biru sambil melepaskan tas punggunya, siap untuk memberikannya kepada mereka untuk dinaikkan ke truk tronton.
“Belum kayaknya. Daritadi belum ngeliat dia,” jawab Osa. “Lo udah sarapan, Cal?” tanyanya kembali.
“Hai, Sa,” belum sempat Calyta menjawab pertanyaan Osa, seorang cewek dengan rambut dicepol satu menyapa Osa. Cewek itu juga sedang siap memberikan tasnya untuk dinaikkan ke atas tronton.
Osa, Karen, dan Biru sontak menatap cewek itu.
Osa memberikan senyumnya, “Hai Vi. Lo di tronton satu juga?” tanyanya.
Truk teronton yang mereka gunakan ini memang diperuntukkan untuk satu setengah kelas, jadi tronton nomor satu ini akan ditempati oleh semua murid kelas X-1 dan setengah dari kelas X-2 ditambah dua orang guru pendamping, dan dua orang dari perwakilan setiap pengurus eksrakulikuler, dan beberapa anggota OSIS/MPK.
Calyta tidak mengenal siswi itu, begitupun Biru. Calyta lalu memperhatikan Osa, matanya beralih dari Osa lalu menatap siswi itu dan kembali lagi ke Osa. Sedangkan Biru hanya menatap Karen.
“Tas lo Ra,” pinta Biru memecah konsentrasi Calyta yang sedang memandang Vian dan Osa.
“Hah? Oh?” Calyta lalu memberikan tasnya ke Biru. “Thank you.”
Perkataan Biru tadi juga menyadarkan Osa. Lalu Osa memandang mereka. Lagi-lagi ada perasaan aneh dalam diri Osa.
“Sa?” panggil Vian seakan ingin menyadarkan Osa untuk membantu menaikkan tasnya.
“Calytaaaa!!!” teriak Karen yang membuat tidak hanya Calyta yang melihat ke arahnya, tapi setiap yang memiliki telinga pun ikut menoleh.
“Pagi-pagi sudah semangat seperti itu bagus, tapi coba dikecilkan sedikit suarnya ya, Nak,” terdengar suara seorang guru dari pengeras suara.
Seketika Karen berhenti dan berbalik menghadap ke arah guru tersebut lalu membungkukkan badan sedikit seakan berkata ‘baik, Pak, maaf’ dan mulai berjalan pelan ke arah Calyta.
Karen mendekat ke Calyta lalu merangkul lengannya. “Siapa?” bisik Karen pada Calyta setelah melihat Vian di antara mereka. Calyta menggeleng pelan.
“Darimana lo baru dateng jam segini?” kata Biru menyelamatkan situasi.
“Oh iya! Tadi mobil Bapak sempet mogok, nggak tahu kenapa. Tapi untung bisa jalan lagi, jadi gue nggak telat, deh,” ucapnya semangat tidak menyadari bahwa pertanyaannya tentang Vian tidak direspons Calyta.
Pernyataan Karen tersebut membuat mereka, khususnya Calyta dan Biru tersenyum. Mereka tahu Karen memanggil ayahnya dengan sebutan “bapak”. Tapi entah kenapa, itu sangat lucu saat Karen mengucapkannya secara langsung.
Terdengar kembali suara dari pengeras suara yang menyuruh seluruh peserta berkumpul untuk arahan dan berdoa bersama sebelum mereka berangkat. Setelah menyelesaikan apel singkat itu, mereka kembali ke truk tronton masing-masing. Calyta melihat Dito dan Arum sedang berdiri di dekat tronton satu, tronton kelasnya.
“Hai, Kak. Kak Dito sama Kak Arun di tronton satu juga?
“Hai, Cal. Iya, nih,” sahut Arum.
“Cal, itu ketua taekwondo, kan?” bisik Karen.
Calyta mengangguk, “Kak kenalin temen saya, Karen,” ucap Calyta Ke Dito dan Arun.
Mereka saling memperkenalkan diri dan memulai obrolan singkat. Karen tersenyum. Selama mereka mengobrol, Karen menyadari kalau Dito sering mencuri pandang ke Calyta.
+++