Jakarta, 2009
Biru sedang menjajarkan 3 tempat makanan yang cukup besar dari tasnya. Dia membukanya lalu memotret semua makanan itu.
Teruntuk mbak cantik dan mas ganteng, jangan lupa ada maksi dari nyonya besar. Pada bawa tempat makan, minum, sama sendok kan?
Biru membagikan foto makanan yang telah diambilnya di BBM grup. Empat tempat makan itu berisi nasi, telur ceplok balado, sayur asam, dan buah. Semuanya dibuatkan oleh mamanya Biru.
“Jadi gue suruh makan sendirian di kantin?”
Alih-alih menjawab pertanyaan Calyta, Biru kembali mengirim pesan ke BBM grup.
dan temen sebangku gua jangan lupa.
Calyta tersenyum melihat pesan yang dikirim Biru.
Mereka kini sudah duduk di kelas sebelas. Calyta dan Biru ada di jurusan IPA, sedangkan Karen dan Osa di kelas IPS. Walaupun mereka beda kelas, makan siang bersama masih menjadi tradisi yang mereka lakukan di sekolah. Begitupun saat di luar sekolah. Mereka sering menghabiskan akhir pekan bersama. Biasanya, mereka akan bergilir menghabiskannya di rumah masing-masing. Jadi, bisa dikatakan mereka sudah mengenal keluarga satu sama lain. Hasilnya seperti hari ini. Tak jarang orangtua masing-masing membawakan makanan lebih untuk dimakan bersama. Untuk Calyta sendiri, Senna sering sekali membuatkan kue untuk mereka. Dan siang ini, Nisa—mama Biru-lah yang menyiapkan makanan untuk mereka makan bersama.
“Btw, lo nggak takut apa kalau lo gombalin Karen terus-terusan kayak gitu nanti dia salah paham dan jadi suka beneran sama lo gimana?” tanya Calyta sambil mengeluarkan alat makannya.
“Dia tahu kalau semua perlakuan gue ke dia nggak bermaksud apa pun. Dan dia tipe yang nggak akan kemakan gombalan,” tanggap Biru
“Ya kan, who knows. Gue bukannya mau sok-sokan menggurui atau mewakili suara cewek. Tapi somehow ‘cinta datang karena terbiasa’ sangat sering terjadi untuk kami. Entah itu gara-gara terbiasa digombalin, terbiasa bersama, bahkan terbiasa berantem,” lanjut Calyta sambil menopang salah satu pipinya menghadap Biru.
Biru mengikuti gestur Calyta yang menyanggah dagunya dengan tangan sehingga mereka saling berhadapan. Dia menatap Calyta dengan senyum menggoda. Melihat itu Calyta membalas tatapan Biru dengan ekspresi seakan bertanya ‘kenapa?’.
“Kami?”
Calyta menyadari apa yang dimaksud Biru. “Jangan ngalihin pembicaraan deh, kan gue lagi ngomongin lo sama Karen.”
“Cal, gue nggak akan ngelakuin sesuatu yang nggak akan bisa gue pertanggung-jawabkan.”
“Ohhh…,” kagum Calyta sambil mengangkat jempolnya.
“Sekarang giliran gue yang tanya, yang lo maksud cinta datang karena terbiasa itu juga berlaku untuk lo sama—”
“Apaan sih, gue sama Osa cuma temenan,” potong Calyta cepat sebelum Biru menyelesaikan pertanyaannya.
“Cal …,” ucap Biru sambil meletakkan tanggan lainnya di atas kepala Calyta. “Gue nggak nyebut Osa….”
Calyta menyadari kesalahannya, lalu sontak berdiri. “Gue… gue mau cuci tangan,” ucap Calyta panik. Melihat tingkah teman sebangkunya itu, Biru memaksakan dirinya untuk tersenyum.
+++
“Sa, yuk,” ajak Karen untuk pergi ke kelas XI IPA 1, kelas Calyta dan Biru.
“Bentar, Ren,” jawab Osa lalu mengambil peralatan makannya.
Baru saja mereka sampai di pintu kelas, suara cewek yang Karen ketahui adalah suara Vian, memanggil Osa.
Tidak hanya Calyta dan Biru yang sekelas, tapi Osa dan Karen juga satu kelas dan duduk sebangku di XI IPS 2. Bedanya, Osa dan Karen kini juga sekelas dengan Vian.
Benar saja. Saat menoleh, Osan dan Karen melihat Vian sedang berlari kecil ke arah mereka.
“Gue duluan kalau gitu,” usul Karen yang tidak peduli dengan apa yang akan dikatakan Vian pada Osa.
“Calyta mana?” tanya Karen sesampainya di kelas XI IPA 1 karena melihat bangku Calyta kosong.
“Tuh…,” tunjuk Biru dengan dagunya ke arah Calyta yang baru memasuki kelas.
“Kok kayaknya lebih banyak dari foto yang lo share, Ru,” tanya Karen heran.
“Harus habisin ya, gua udah capek-capek bawa seabrek-seabrek gini.”
“Ada juga Tante Nisa yang udah capek-capek masakin. Sampein makasih buat Tante Nisa.”
“Ren, emang lo suka sama gue?” tanya Biru tiba-tiba saat Calyta sudah duduk di sebelahnya.
Karen menatap Biru malas. “Lo gila, ya?”
“See?” ucapnya ke Calyta.
“Ada apaan, sih?” tanya Karen karena melihat tingkah Calyta dan Biru.
Biru pun menceritakan obrolannya dengan Calyta tadi tentang bagaimana sikapnya ke Karen bisa saja membuat Karen salah paham. Mendengar itu, Karen tertawa.
“Padahal ya, Cal, sikap nih anak ke gue nggak ada apa-apanya dibandingin sikapnya ke el—” Karen menghentikan percakapannya. Dia sadar hampir saja dia mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak dia katakan.
Dengan seolah tidak pernah mengatakan hal tersebut, Karen beralih menghadap Biru, “Tapi bener kok apa yang dibilang Calyta, Ru. Lo harus hati-hati bersikap ke cewek,” lanjutnya.
“Sebagai temen lo, Ru, nih ya. Gue mau sok tua aja. Menurut gue, lo sama Osa tuh ada bakat untuk ngebuat cewek salah paham. Osa dengan sikap terlalu baiknya plus susah banget bilang nggak, dan lo dengan omongan lo yang terdengar gombal tapi sebenarnya lo nggak ada maksud atau malah sebenarnya lo lagi bercanda. Susah sih, karena emang itu udah karakter kalian dan nggak semua cewek juga gampang salah paham.”
“Kayaknya gue termasuk yang gampang salah paham. Soalnya gue kira selama ini lo suka sama Karen, Ru,” Calyta ikut merespons.
Karen tersenyum, dia tahu sahabatnya yang satu ini memang bisa dikategorikan tidak peka jika menyangkut cinta, terutama yang melibatkan dirinya sendiri.
“Intinya harus hati-hati. Apalagi bersikap sama cewek yang sekiranya suka sama lo, tapi lo nggak ada rasa sama mereka. Well, ini berlaku bukan untuk cowok aja sih, tapi cewek juga.”
“Noted ya, ibu-ibu,” balas Biru yang mendengar kedua temannya itu seperti sedang mendengar nasihat dari bundanya.
“Ngomong-ngomong ini Osa ke mana?” tanya Calyta.