“Calyta mana?” tanya Osa karena Biru hanya datang sendiri.
“Masih di kelas. Nyusul katanya.”
“Gue susul dia dulu, deh. Kalau 10 menit kita nggak dateng nggak usah di tempatin, ya. Kalian makan aja duluan.”
Sesampainya di 11 IPA 1. Osa melihat Calyta sedang menelungkupkan kepalanya di atas meja dengan jaketnya sebagai bantal. Melihat itu Osa menuju kelasnya. Sekembalinya ke kelas 11 IPA 1, Osa menutupi punggung Calyta dengan jaketnya yang dia ambil tadi.
Karna tidak mau membangunkan Calyta. Osa lalu duduk di bangku Biru. Osa tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Akhirnya dia mengambil ponsel dari kantung celananya dan mulai berkutik dengan benda kecil itu.
Osa mulai bosan dengan ponselnya, sedangkan Calyta tak kunjung bangun. Dia lalu mengambil novel yang ada di hadapannya. “Dunia Sophie,” ucap Osa melihat judul novel itu.
Osa membaca blurb novel itu lalu mencoba membolak-balikan halaman novel tanpa ada keinginan membacanya. Alhasil, dia meletakan kembali novel itu.
Osa lalu memandang Calyta yang masih tertidur telungkup. Lama dirinya pandangi lalu berbisik, “Cal… kalau gue punya rasa sama lo gimana?”
Setelah mengatakan itu, dengan sangat amat pelan Osa menghela napasnya, lalu melihat jam tangannya. Tiga puluh menit sudah berlalu. Para penghuni kelas 11 IPA 1 mulai berdatangan karena waktu istirahat tersisa lima belas menit lagi. Osa pun memutuskan untuk membangunkan Calyta agar mereka dapat makan siang.
“Cal… Cal…,” Osa menepuk punggung Calyta pelan.
Perlahan Calyta memiringkan kepalanya dan melihat ke arah Osa. Osa tersenyum melihat bekas jaket di pipi Calyta.
“Pules banget tidurnya sampai ngebekas itu pipi.”
Calyta membangunkan tubuhnya lalu mengusap pipinya.
“Yuk, makan. Bentar lagi masuk, loh,” ajak Osa.
“Mmm… nggak, deh. Tadi istirahat pertama lumayan banyak makan juga. Lo belum makan emangnya?”
“Mau gue beliin susu?” bukannya menjawab pertanyaan Calyta, Osa malah balik bertanya. Calyta tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. Sebab pikirnya, dia masih memiliki susu cokelat yang Biru berikan tadi pagi.
“Serius nggak mau?” tanya Osa kembali yang hanya dibalas anggukan oleh Calyta. Osa pun tidak mengatakan apa pun lagi. Dia tersenyum, lalu pergi menuju kantin.
Setelah Osa tidak ada di jangkauan matanya, Calyta mengusap muka lalu kepalanya sedikit kasar. Dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya tadi. Ya. Calyta mendengar pernyataan Osa yang diutarakan kepadanya.
+++
“Calyta!” mendengar namanya dipanggil Calyta pun menoleh. Calyta melihat Dito sedang berlari kecil ke arahnya.
“Halo, Kak,” sapa Calyta setelah Dito sudah berjalan di sampingnya. “Oh, iya, nanti saya izin nggak latihan, ya.”
“Kenapa, Cal?”
“Biasa, Kak. Saya udah info ke Kak Arun juga, kok,” senyum Calyta.
Mendengar pernyataan itu, Dito mengetahui apa yang dimaksud Calyta. Karena jika kebanyakan cewek yang izin tidak ikut latihan pasti karena kedatangan tamu bulanan mereka. Dan biasanya juga mereka akan lapor ke Arun terlebih dahulu.
“Osa!” Calyta mengetahui itu adalah suara Karen. “Calyta!” Kali ini, Karen memanggilnya. Tapi karena Calyta tahu bahwa Karen bersama Osa, timbul keingingan untuk menghindar.
“Calyta!” panggil Karen kembali, yang malah membuat Dito menengok.
“Cal, itu Karen mang—”
“Kak, saya duluan, ya,” pamit Calyta sebelum Dito menyelesaikan ucapannya.
Calyta sedikit mempercepat langkahnya menaiki setiap anak tangga, dan akhirnya berhasil tiba di kelas tanpa bertatap muka dengan Osa. Calyta belum siap harus berpura-pura tidak mendengar ucapan Osa kemarin.
Semenjak kejadian itu, Calyta berkutat dengan pikirannya. Berbagai pertanyaan memenuhi pikirannya. Sejak kapan Osa menyukainya? Kenapa Osa tidak menyatakannya secara langsung? Atau apakah dirinya salah mendengar? Jika dia dirinya tidak salah mendengar, lalu bagaimana dengan Vian? Itukah alasannya Osa tidak menyatakan secara langsung perasannya sebab dia juga menyukai Vian? Bagaimana dengan perasaannya sendiri? Apakah dirinya juga menyukasi Osa? Perasaan yang selama ini dia rasakan bersama Osa, ketidaksukaannya setiap Osa bersama Vian apakah berarti dia juga menyukai Osa?
Calyta tahu, beberapa dari pertanyaannya itu hanya Osa yang dapat menjawab itu semua. Satu sisi, Calyta belum siap jika harus mengatakan bahwa dirinya mendengar pernyataan Osa. Di sisi lain, dirinya juga belum siap jika harus bersikap seperti biasa, bersikap seperti sebelum dia mengetahui perasaan Osa. Untuk itulah, sementara ini Calyta memutuskan untuk menghindari Osa.
Calyta mengatur napasnya. Awalnya dia berniat untuk tidak melakukan banyak aktivitas hari ini karena tamu bulanannya, malah sekarang energinya sudah terkuras banyak hanya karena harus menghindari Osa.
“Cal, masih pagi lemas banget,” ucap Biru yang baru datang sambil memberikan satu kotak susu cokelat.
Calyta tersenyum lalu mencobloskan sedotan ke kemasa susu itu. “Thank you.”
Saat bel istirahat berbunyi, Calyta langsung menelungkupkan badanya di atas meja.