Tidak terasa sudah dua tahun mereka berstatus murid SMA. Hari ini adalah hari pertama mereka duduk di kelas tiga. Berbeda dengan Karen dan Osa, Biru dan Calyta kembali sekelas untuk ketiga kalinya.
Mengetahui dirinya kembali sekelas dengan Biru, Calyta berjalan dengan semangat menuju kelasnya. Sesampainya di kelas, Calyta melihat Biru sudah duduk di salah satu bangku dan sedang mengobrol dengan seorang siswa yang duduk di sebelahnya.
“Ru,” panggil Calyta.
“Oi, Cal,” jawab Biru santai.
Calyta masih menatap Biru berharap Biru akan mengatakan bahwa mereka akan sebangku lagi.
“Cal?” panggil Biru karena Calyta tidak mengatakan apa pun.
“Ya? Oh, sorry,” Calyta tidak tahu harus berbicara apa. Sebenarnya dia ingin menanyakan kenapa Biru tidak menempati bangku untuknya.
Dengan cepat mata Calyta menyusur ke sekitar mencari bangku yang masih kosong. Bangku yang ada di serong belakang Biru adalah bangku kosong pertama yang dilihatnya. Tanpa menunggu, Calyta langsung duduk di bangku itu.
Biru dapat melihat Calyta mencari
Pagi itu, Biru sengaja datang lebih pagi bukan dengan alasan untuk mencari bangku untuknya dan Calyta. Tapi dia melakukan itu justru untuk menghindari agar tidak sebangku dengan Calyta. Biru merasa kekanak-kanakan, tetapi dia memutuskan untuk melakukannya.
Sejak insiden class meeting lalu, Biru menyadari bahwa Osa mulai cemburu padanya dan dirinya juga mengetahui Osa tidak suka jika dirinya terlalu dekat dengan Calyta. Untuk itulah, sebisa mungkin Biru berusaha untuk menjaga jarak dengan Calyta. Pikirnya, hal ini bisa dia manfaatkan juga untuk mengatur perasaan tak sampainya pada Calyta.
+++
Banyak yang bilang masa SMA adalah masa yang paling indah, yang harus dinikmati sepuas dan sebijaknya. Terutama saat duduk di kelas sebelas. Sebab, saat kelas satu masih merupakan masa perantara dan harus fokus untuk perihal penjurusan, sedangkan kelas dua belas sudah harus fokus dan serius untuk menghadapi ujian nasional.
Entah karena perihal mereka sudah kelas tiga atau bukan, Calyta merasa semuanya semakin berubah. Tidak ada lagi makan siang bersama Karen dan Biru, begitu juga dengan akhir pekan. Semua itu sekarang hanya dilakukannya bersama Osa.
“Ru,” sapa Osa melewati bangkunya untuk menuju bangku Calyta.
“Oi,” balas singkat Biru tanpa melihatnya.
“Kamu bawa bekel nggak?” Biru mendengar Osa bertanya pada Calyta.
Calyta menggeleng, “Nggak. Yuk, ke kantin.”
“Ru! Gas!” panggil seorang siswa cowok. Calyta tahu itu adalah panggilan untuk makan siang. Berbeda dengan Karen yang sesekali masih suka makan siang bersama Calyta dan Osa, Biru sekarang lebih sering menghabiskan waktunya dengan teman sebangkunya—Bagas—dan teman-teman futsalnya.
“Aku pesenin dulu ya. Kamu mau mi yamin, kan?” tanya Osa setelah mereka duduk di kantin.
Calyta duduk sendiri, menunggu Osa. Dia mendengar suara tawa Biru. Tanpa dia sadari, dia mencari asal suara itu. Ternyata Biru berada pada dua meja di belakangnya.
Calyta merindukan Biru dan Karen. Dia merindukan bisa berkumpul, bercerita banyak hal, dan tertawa bersama, terutama saat istirahat makan siang seperti ini.
Karena merasa bosan, Calyta memutuskan untuk menyusul Osa yang belum tiba sedari tadi. Tapi saat dia berdiri dan berbalik, Calyta tidak melihat ada siswa lain yang sedang membawa semangkung soto. Alhasil, siswa tersebut menumpahkan kuah soto yang masih panas ke tangan Calyta.
“Auww,” rintih Calyta pelan.
“Maaf… maaf, Kak. Saya nggak sengaja,” ucap siswi itu masih memegang mangkuk sotonya dengan muka terlihat khawatir.
Calyta memandang siswi itu. Dari gerak-geriknya, Calyta tahu siswi itu baru kelas sepuluh. “Nggak apa-apa. Saya yang minta maaf ngak lihat-lihat,” ucap Calyta tulus sambil memegang pergelangan tangannya.
Entah sejak kapan, Biru sudah ada di hadapan Calyta, lalu menarik tangannya dan membawanya ke wastafel terdekat. Calyta hanya bisa diam melihat Biru, yang tidak menatapnya sama sekali, sedang mencoba menyiramkan air ke tangannya yang terkena kuah soto tadi.
Biru melepaskan tangan Calyta saat menyadari Osa sedang berlari ke arah mereka.
“Kenapa, Cal?” tanyanya sedikit panik.
“Nggak apa-apa, Sa. Salah aku tadi jalan nggak hati-hati, jadi ketumpahan soto, deh.”
Osa melihat tangan Calyta. “Yuk, ke UKS,” ajaknya.
“Saya benar-benar minta maaf ya, Kak,” ucap siswi yang ternyata masih mengikuti Calyta.
Calyta memberikan senyuman ke siswi itu dan melihat Biru tanpa berkata apa pun lalu pergi bersama Osa ke UKS.
“Lo ke UKS juga, gih,” ucap Biru tiba-tiba ke siswi itu yang membuatnya bingung. “Tangan lo juga kena, kan,” jelasnya lalu meninggalkan siswi itu.
+++
Biru menatap layar ponselnya lama. Dia ingin sekali menghubungi Calyta, menanyakan keadaannya. Sudah sedari siang dia menahan dirinya untuk tidak menanyakan kondisi tangannya.
“Kamu lihatin apa sih, Dek?”
Menyadari wajah Nisa sudah hampir menempel di wajah, Biru terlonjak kaget. “Bunda!”
“Haduh! Kaget, Bunda. Kamu ngapain, sih, teriak-teriak?”
“Bunda yang ngagetin tiba-tiba udah di samping Biru.”
“Bunda udah ngetok pintu, panggil-panggil kamu, kamunya tetap nggak bergerak mandangin hape. Kenapa, sih? Mau dibeliin hape baru?”
Biru tersenyum mendengar omongan mama-nya itu.
“Bunda sendiri ngapain ke sini?”
“Mau tidur,” ucap Nisa gemas sambil mengacak rambut Biru.
Biru memang selalu diperlakukan seperti anak kecil di rumah ini karena usianya yang terpaut jauh dengan kakak perempuanya. Pangilan “Adek” pun seperti sudah menjadi nama depannya.
“Kamu berarti sama sekali nggak dengerin bunda dari tadi teriak-teriak,” geleng Nisa. “Ayo, makan,” lanjutnya lalu berjalan keluar kamar.
Baru saja Biru ingin meletakkan ponselnya, dia merasakan ponsel di tangannya itu bergetar. Biru melihat ada satu pesan dari Karen.
Barusan gue telepon. Dia baik-baik aja. Nggak sampe ngebekas kok lukanya.
Biru tersenyum. Karen selalu melakukan hal yang tidak pernah diduga. Biru bersyukur bisa punya sahabat yang sangat pengertian seperti Karen.