that moment when you realized you're (not) in love

kvease
Chapter #14

tiga belas.

Semenjak memasuki perkuliahan, Sabtu adalah hari yang biasa Calyta habiskan bersama Osa. Walaupun tidak rutin setiap minggunya, mereka selalu mengusahakan untuk bertemu. Mereka sering menghabiskan Sabtu mereka itu dengan menonton DVD di rumah Calyta atau menghabiskan seharian di mal, atau ke mana pun mereka ingin pergi. Begitupun dengan pekan ini.

“Mampir ke toko buku sebentar ya?” ucap Calyta pada Osa. Osa tersenyum dan mengangguk.

Ke mana pun mereka pergi, toko buku selalu menjadi salah satu tempat yang selalu mereka kunjungi. Dan Osa tidak pernah menolak. Biasanya, Osa selalu mengikuti ke mana pun Calyta melangkah saat di toko buku. Entah Calyta menyadarinya atau tidak, dua minggu belakangan ini Osa hanya duduk di suatu tempat di dalam toko buku yang mereka kunjungi.

“Kamu capek, ya? Kita pulang aja kalau gitu,” tambah Calyta karena Osa tidak langsung menjawab seperti biasamya.

“Oh? Nggak, kok. Tapi aku mau ke toilet dulu, ya. Kamu duluan aja ke toko bukunya, nanti aku nyusul,” ucap Osa lalu berlalu sebelum Calyta memberikan responsnya.

 Calyta bingung dengan apa yang baru saja dilihatnya. Osa tidak pernah berlaku seperti ini. Dia meninggalkan Calyta bahkan sebelum mendengar respons darinya. Alhasil, Calyta hanya bisa memandangi punggung Osa. Dia menggelengkan kepalanya pelan, lalu berjalan berlawanan arah dengan Osa menuju toko buku.

  Calyta menuju rak new release dan mulai mengambil novel yang menarik perhatiannya lalu membaca blurb novel itu satu per satper satu. Tak lama setelah Calyta mendapatka dua novel yang ingin dia beli, ponselnya berdering. Calyta melihat nama Biru di layar ponselnya itu. Dia pun tersenyum.

   “Tumben nelepon,” ucap Calyta tanpa mengucapkan halo.

   Biru memang sangat amat jarang menelopn Calyta. Bahkan, dia juga jarang pulang ke Jakarta, ke rumahnya, selama satu setengah tahun kuliah di Yogya.

   Selama waktu yang berlalu itu, Biru belum bisa menangani perasannya terhadap Calyta. Dia masih memendam rasa kepadanya. Karena alasan itu juga, Biru sangat menjaga jarak dan perilakunya terhadap setiap cewek yang mencoba mendekatinya. Yang bisa dilakukan Biru hanyalah menyibukkan dirinya terhadap kuliahnya.

    Berbeda dengan Biru, Calyta menganggap apa yang pernah dirasakannya untuk Biru itu hanya perasaan sesaatnya. Perasaan yang timbul karena keterkejutannya saat mengetahui perasaan Biru terhadapanya.

    “Galak amat, Cal,” respons Biru.

    Calyta tertawa, “Kenapa, Ru?”

    “Lo di rumah nggak?”

    “Lagi di luar gue. Kenapa emang? Lo di Jakarta?”

    “Gue tadinya mau kasih kejutan buat orang rumah. Ini gue di depan rumah gue, tapi pagar digembok. Mobil juga nggak ada. Pada pergi kayaknya.”

    Calyta kembali tertawa, “Jadi tadinya lo mau nunggu di rumah gue?”

    “Rencananya gitu. Tapi karena lo lagi di luar gue nunggu di taman aja, deh.”

    “Ada Kak Senna kok di rumah.”

    “Nggak ah. Pasti sama Kak Langit, kan? Ntar gue jadi lalet lagi.”

    “Kan lo bisa ke atas atau kamar gue. Daripada di taman planga-plongo?”

    “Nggak deh. Udah lama nggak main ayunan juga gue.”

     “Apa, dah.” Lagi-lagi Biru membuat tertawa. Mungkin jika orang lain mendengar, mereka akan berpikir apa yang lucu dari setiap perkataam Biru. Tapi tidak dengan Calyta.

     “Yaudah, besok mau kumpul? Biar nanti gue kasih tahu Karen sama Osa.

     “Bebas, gue ikut aja. Yaudah, ya, bye.”

     “Bye,” tutup Calyta yang masih tersenyum.

     “Pantesan aku telepon, telepon kamu sibuk. Siapa, Cal?” tanya Osa yang baru datang.

     “Oh, maaf. Tadi Biru telepon. Dia mau ngasih kejutan buat keluarganya eh tapi rumahnya digembok. Pada keluar ternyata.”

     “Udah dapet novelnya?”tanya Osa tanpa menanggapi perihal Biru.

     “Oh? Oh… udah, kok,” ucap Calyta sambil menunjukkan dua novel yang sudah dipilihnya.

     “Oh iya, besok kita mau kumpul. Mumpung Biru di Jakarta. Jarang-jarang kan dia pulang. Kamu bisa ikut kumpul?” tambah Calyta smabil berjalan ke kasir.

      “Oh? Nggak bisa, Cal. Aku ada acara sama anak-anak jurusan,” ucap Osa.

      “Oh gitu. Yaudah nggak apa-apa. Nanti aku sampein ke Biru,” ucap Calyta tulus. Sebab, Calyta tidak pernah melerang sa untuk bermain bersama temannya.

+++

Bel rumah Calyta berbunyi. Calyta berlari kecil lalu membuka pintunya. Calyta menengadah melihat cowok tampan bermata cokelat yang tak lain adalah pacar Senna—Langit.

Lihat selengkapnya