Rasanya aku paling sulit berhadapan dengannya, bukan karena hal buruk namun justru karena terlalu baiknya dia bagiku. Meski ku katakan demikian tetap saja aku tak bisa berhenti mengekorinya, membuatnya repot. Mungkin baginya tak mengapa, namun bagiku itu segalanya. Setiap bertemu dengannya yang mungkin suatu kebetulan biasa, bagiku itu cukup membuatku senang. Seperti saat itu, lagi-lagi aku menoleh...
Saat itu aku berdiri disana, diantara kerumunan yang mengular. Didepan sebuah ruangan berplang nama kecil tersampir di sudut kiri atas. Ruangan dengan pintu bercat coklat tua separuh terbuka, memancarkan bias cahaya dari jendela diseberang sana. Seseorang muncul, seorang gadis bermata sipit yang kemudian berdiri diantara daun pintu. Tatapannya tertuju pada kertas yang ia genggam, lalu bergantian menoleh pada kerumunan. Tak lama gadis itu menyuarakan beberapa nama, lalu beberapa orang beringset dan berlalu memasuki ruangan. Gadis itu tetap berada disana, kembali sibuk dengan kertas di genggamannya. Aku menoleh, mencoba mengamati melalui sela-sela pintu yang masih terbuka seusai mengisi kertas daftar tunggu dan menyerahkannya kembali pada gadis tadi. Aku tak bisa melihat jelas siapa saja disana, hanya tampak beberapa kepala menyembul dari sudut terdalam ruangan tak jelas siapa kiranya.
Aku masih mencoba mengamati ketika seorang gadis berambut bob muncul, dan berlalu melewati pintu ruangan. Tak lama gadis bermata sipit dihadapanku memanggil namaku, menandakan giliranku tiba. Aku pun melangkah, masuk dengan percaya diri.
Ruangan itu tak begitu luas hanya diisi beberapa perabot sederhana di sudut ruangan, dan tak berapa langkah dari sana beberapa pemuda dan seorang gadis duduk berjejer. Mataku menangkap seorang pemuda yang begitu familiar.
"Dia lagi! " nyaris aku bersuara keras, beruntung aku menahannya hingga hanya muncul dalam benakku.
Sesaat aku terpaku pada sosok sang pemuda tak jauh dihadapanku itu. "Eh, kok...," betapa aku terkejut melihatnya ada disana, duduk pada barisan paling ujung bersandar pada dinding sebelah kanan ruangan.
Dia menoleh sekilas, sedikit tersenyum seolah membaca keterkejutanku. Tepat saat itu gadis berambut lurus yang berada pada posisi ke tiga dari pemuda tersebut menoleh, "Silahkan duduk!"
Lamunanku segera buyar, sadar dengan maksud kedatanganku aku pun segera duduk di hadapan barisan tersebut. Meskipun aku dan pemuda itu sudah cukup dekat dan naluriku bertanya-tanya mengenai keberadaannya, namun aku kembali berhasil menahan suaraku, menyadari sungguh tak tepat aku menanyakannya saat itu. Bahkan seusai wawancara itu pun tetap tak tepat mengutarakan tanyaku tersebut, aku pun keluar meninggalkan ruangan. Sebelumnya aku sempat menoleh, namun sosoknya tertutup peserta lain yang baru muncul melewatiku, dan segera tempat ku duduk tadi kembali terisi.
Dia Mr. D, sebut saja demikian. Dia salah satu senior yang menarik bagiku, senior pertama yang membuatku menoleh dan menjadikannya sebagai senior terfavoritku. Meskipun kami hanya sebatas senior dan junior, namun dia selalu ada untukku. Kehadirannya selalu mampu membuatku tersenyum. Aku ingat dan akan selalu ingat bagaimana kami mengenal, mulai dari kekakuanku berhadapan dengannya, hingga kemudian aku yang kerap kali merepotkannya.
***
Entah bagaimana awal biasa dengan perkenalan tak langsung saat itu, kemudian membuatku menjadi dekat dengannya. Saat itu, saat aku dan Mr. D pertama kali bertemu. Saat itu di sebuah acara kampus yang merupakan acara pertama yang kuikuti dan terlibat sebagai panitia disana, meskipun posisiku tetaplah seorang junior yang tak begitu penting. Bisa kalian bayangkan bukan? Di suruh-suruh mengerjakan ini itu bak seorang kacung yang tak dapat menolak apa-apa, huuuf. Meski demikian, bagiku itu bukanlah masalah besar. Selama aku tak disuruh untuk melakukan hal aneh bin ajaib saja sudah cukup, haha. Oke, kembali ke kisah. Adapun sepanjang persiapan menuju acara kira-kira 1 bulan sebelum penyelenggaraan, para panitia dikumpulkan untuk perkenalan dan pengarahan tugas namun sayangnya aku tidak hadir karna aku belum resmi bergabung dikepanitiaan. Namun beruntung, minggu berikutnya aku resmi bergabung dalam kepanitiaan, "Yay!" rasa senang dan lega menghampiriku. Tak lama, selang berapa hari setelah itu para panitia berkumpul lagi, disanalah aku bertemu dia, Mr. D.