Lega rasanya setelah aku mengetahui apa yang selama ini menganggu fikiranku. Bukan hanya sekedar mengetahui siapa dia, namun juga menyadari bahwa sosok yang ku pandang aneh selama ini tidaklah seperti itu. Meskipun cukup lama barulah aku mengetahuinya, namun beruntung dia tak pernah mempermasalahkan hal itu. Aku dan teman-temanku bahkan terus melanjutkan misi kami menjadikannya sebagai salah satu sumber terpercaya kami, sama seperti sebelumnya.
"Mana datanya kak? Katanya mau kasih materi semester." Ms. S yang tengah berjalan beriringan denganku mendadak berbelok ke kiri menghampiri Mr. I, senior jurusan kami yang tengah duduk di kursi panjang tak jauh disana, menagih materi kesekian yang kerap kali kami ajukan padanya, materi yang sudah seminggu lalu dijanjikan.
Dia melirik sekilas pada kami dengan ekspresi seriusnya dan menyentuh bingkai kacamatanya, kacamata yang sebetulnya jarang dia gunakan, sementara jemarinya asyik menari pada tuts keyboard laptop dihadapannya. "Sabar-sabar, nyimpan tugas dulu," sahutnya datar.
"Cepetan!" Ms. S kembali berkata tak sabar seusai kami duduk pada kursi kosong di sana.
"Iya," balasnya datar tanpa menoleh, sibuk menatap layar monitor.
Tak lama ekspresinya berubah santai, menunjukkan urusan yang membuatnya fokus sebelumnya telah selesai. Dia kemudian menghela nafas dan mengubah posisi duduk menjadi bersandar. Tak lama, seolah ingat akan kehadiran kami, "Lah laptop kalian mana?" dia bertanya sembari menoleh.
"Abis batrai. Nih..., masukin ke sini aja," jawabku sembari mengangsurkan sebuah benda kecil berukuran setengah jari telunjuk yang dapat digunakan sebagai penyimpanan data, benda berwarna merah gelap yang sebelumnya ku genggam.
"Sekalian tugas-tugas nya juga dong," Ms. S menimpali.
"Ngak ah, belajar dong jangan ngarep soal!" sahutnya jahil seusai menerima benda tersebut.
"Iiih…, pelit! Belajar kok, kan itu buat pegangan!" aku menyahut tak mau kalah.
"Ngambekan. Becanda kali! Nih… nih…, udah semua lengkap dengan soal-soalnya," sergahnya menahan tawa, kemudian dia mencabut benda tersebut dan mengangsurkannya padaku.
"Yalah," sambutku berpura-pura kesal sembari meraih benda tersebut. "Oke, makasi kak. Bye!" lanjutku dan Ms. S serentak, sementara dia menanggapi kami dengan anggukan kepala serta senyum tipis pertanda suasana hatinya sudah membaik. Aku dan Ms. S pun beranjak pergi bersama teman-temanku yang menanti di ujung koridor.
***
Dari sana, sebuah ruangan yang penuh dengan kenangan. Pada momen berkumpul yang sangat ku tunggu, yang selalu dihadiri berbagai sosok menarik bagiku. Sebelumnya aku tak tahu siapa dia, pemuda pendiam yang duduk dihadapanku itu. Aku hanya mengenal Mr. D, dan Mr. F saat itu, kemudian setelah hari itu aku mengenal nya.
"Sialan! Telat ini!" batinku sembari berlari meniti tangga.
Namun laju ku tak berlangsung lama. Aku berhenti pada belokan kesekian tangga, bersandar pada peganggan tangga sembari berkacak pinggang mengatur nafas. "Hosh…, hosh…, waduuuh!" gumamku mengeluh, merasa kelelahan.
Aku masih mengatur nafas kemudian menoleh keatas, menatap belokan spiral tangga yang seolah tanpa ujung. Aku menghela nafas, kemudian menggerakkan kakiku, melanjutkan tujuan. Langkah cepatku sebelumnya kini beralih pelan, terkuras lelah.
"Haaah, kalo gini terus ngak kuat aku. Kasih lif kek!" keluhku kembali sembari melanjutkan meniti tangga.
Baru saja aku sampai di anak tangga teratas dan berbelok ke kiri pada arah tujuanku, ketika langkah kaki menggema dibelakangku membuatku kaget dan menoleh. Padahal sore itu sudah sepi, hanya ada pergerakan di tingkat bawah sedangkan pada tingkatanku berdiri kini hanya hening tanpa ada seorang pun. Tentu saja langkah kaki tadi terdengar dengan nyaring, dan membuatku terkejut mencari tahu apa atau siapa gerangan. Seorang pemuda muncul dari koridor arah kanan, ia berlari dan secepat kilat melintas dihadapanku. Aku masih menoleh, heran melihatnya yang terus melaju meninggalkanku. Aku diam sejenak kembali mengatur nafas, kemudian melangkah mengikuti jejak pemuda tadi.
Aku melewati deretan ruangan yang saling berhadapan, menuju sebuah ruangan yang berada paling ujung. Beberapa langkah lagi aku sampai di depan ruangan tersebut, satu-satunya ruangan yang nampak hidup diantara deret ruangan disana. Cahaya lampu disepanjang koridor penghubung ruangan yang menuntunku nampak tak sekuat bias cahaya yang menyeruak dari pintu ruangan dipojok tersebut, yang terbuka meski separuh. Semarak ramai dalam ruangan itu juga terlihat melalui berbagai sepatu yang berserakan di depan pintu, berjejer di sepanjang dinding. Aku sampai di depan ruangan itu, mendapati seorang pemuda tengah menunduk melepaskan sepatu yang dia kenakan. Aku berjongkok melepas tali sepatuku, sembari sesekali menoleh merasa penasaran siapa pemuda itu. Sekilas ku rasa dia pemuda yang sama dengan pemuda tadi yang kujumpai di dekat anak tangga, namun entah bagaimana dia ada di depan pintu ruangan ini, sebuah pertanyaan lain yang tak terjawab oleh ku. Belum selesai aku menerka-nerka siapa dia, tak lama dia masuk ke dalam ruangan. Akupun bergegas mengikuti langkahnya, turut memasuki ruangan yang telah ramai tersebut.
Semula aku duduk di dekat pintu, namun berhubung anggota yang cukup banyak dan terlalu merapat ke arah pintu, semua hadirin diminta bergeser merapat ke bagian dalam ruangan termasuk aku yang tergusur ke bagian dalam ruangan. Entah bagaimana aku yang berharap duduk pada posisi yang tertepa tiupan angin sampai di bagian berdekatan dengan kipas angin dan ketika aku menoleh ke depan ternyata aku berhadapan dengan Mr. F, dan Mr. D, namun...
"Eh..." Aku terkejut menemukan pemuda tadi berada dihadapanku, duduk bersebelahan dengan Mr. D.
Aku bertanya-tanya siapa gerangan, namun belum sempat pertanyaanku itu keluar dari kepalaku seorang senior perempuan yang duduk posisi ke dua disamping kanan Mr. F membuka suara, menandakan pertemuan kali itu dimulai. Pertemuan dimulai dengan do'a, lalu kata-kata motifasi yang diwakili penyampaiannya oleh seorang pemuda disamping kanan Mr. F. Kemudian seakan mendapat ide menghilangkan bosan yang mulai melanda, Mr. D mengeluarkan sebuah pulpen. Tak ayal sebelum dia berkata-kata aku langsung mengeluh, "Yaaah!" tanpa suara. Sudah dapat menebak maksud permainannya.
Entah mengapa dia suka sekali menggunakan metode itu, metode yang kemudian entah bagaimana justru berkembang pesat di terapkan hampir semua orang. Bahkan aku sering memergoki berbagai kenalanku menerapkan metode itu, membuatku teringat Mr. D saja, huhu. Lain Mr. D, lain Mr. F, lain pula dengan pemuda tersebut. Jika Mr. D yang menyadari ekspresi ku menoleh dan tersenyum simpul, sementara Mr. F seperti biasa menunjukkan tatapan jengkel mengesalkannya, sedangkan pemuda di hadapanku itu tetap diam dengan ekspresi serius.