Bagiku perpisahan merupakan suatu awal dengan rasa berbeda. Selalu menyisihkan cerita mengenai jiwa yang mencoba melepas, namun akan selalu merindu. Sejak awal kami bertemu, aku tahu ini hanya sementara. Akan ada saat aku tak menemukan mereka lagi. Sebagaimana aku tak pernah tahu awal seperti apa yang membuat kami berjumpa, mengapa aku justru menoleh pada mereka diantara milyaran manusia yang tak kalah menakjubkan di penjuru bumi, bagaimana mereka hadir mengubahku, aku juga tak pernah tahu perpisahan seperti apa yang menanti. Namun aku selalu berharapkan tak ada akhir dalam kisahku dan mereka, para seniorku...
Tanpa kata, tanpa prasangka, waktu bergulir menciptakan barisan kisah kami penuh warna. Pada waktu dengan beribu alasan misterius mempertemukan kami, pada waktu yang dengan masih misteriusnya memisahkan kami. Waktu membuatku terlena, mengikuti mereka dengan segala magnet penariknya. Hingga kemudian aku sadar bagaimana waktu juga memisahkanku dan mereka.
***
Dia Mr. Y. Kulit kecoklatannya yang sangat mencolok dibanding senior ku lainnya justru menjadi pesona tersendiri baginya. Pikat menarik senyumnya bahkan menambah rasa manis yang menyebar cepat bagai virus. Karismanya yang kuat pun turut menyumbang nilai tambah, tak perlu diadu pastilah akan memberi hasil kemenangan yang jelas condong padanya. Segala nilai lebihnya itu mau tak mau membuatku harus mengakui betapa berbedanya pancaran yang menyeruak bersama kehadirannya, dan menjadikannya salah satu objek dalam daftar seniorku.
Sebelumnya waktu masih memberiku kesempatan barang melihatnya, namun kali ini hal itu tak terjadi. Jangankan ketika aku bersama Ms. O, aku sendiri saja sudah tak lagi berkesempatan melihatnya. Dia yang biasanya selalu nampak di berbagai penjuru fakultas kali ini justru tak terlihat. Menghilang entah kemana. Bahkan di titik-titik tertentu yang sebelumnya pernah kami jumpai dirinya, kali ini hanya menyisakan ruang kosong. Pada waktu aku tak lagi menemukannya, ternyata tetap saja tak mudah bagiku menyingkirkan sosoknya. Seperti hari itu, hari dimana aku tak lagi menemukannya…
Tampaknya terik mentari begitu sering menyapaku. Padahal sudah lewat tengah hari, namun mentari masih bersinar dengan penuh semangat. Aku dan Ms. O berdiri di pelataran depan fakultas pada sisi yang masih terlindung sinar mentari, menyipitkan mata memperhatikan gelombang tak kasat mata yang terhampar di halaman depan fakultas yang terpapar mentari. Hawa kuat panas yang memancar membuat kami mengurungkan niat segera pergi dari gedung fakultas. Alih-alih mencari tempat lebih nyaman menanti sinar mentari bersahabat, kami justru memilih duduk lesehan sembari bersandar pada dinding dekat pintu utama menuju gedung. Kami duduk bersebelahan menatap jalanan beserta lalu lalang orang-orang. Meski terlindung dari sinar mentari, namun panas mentari tetap berhasil singgah menyapa. Sesekali kami mengibas-ngibas menggunakan kertas yang dilipat, mencoba mengurangi sapaan panas mentari.
"Duuuh, pengen yang segar-segar deh!" celoteh Ms. O ditengah rasa bosan.
Aku dengan iseng menengok ke arahnya, tersenyum simpul. "Maksudnya Mr. Y? Haha...," sergah ku tertawa.
"Ya ngak harus dia juga sih." Ms. O menoleh pada ku, tersenyum bingung.
"Tapi kalo dia ngak pa-pa kan? Kan lumayan hm... hm...," selorohku masih dengan jahilnya.
"Haha..." Ms. O tak dapat menahan tawanya dibalik senyumnya setiap aku menyingung senior ini akhirnya pecah.
Kami teringat dengannya, bagaimana kemunculannya mengalahkan panas terik saat itu. Langkah mantabnya yang melintasi pelataran depan fakultas tanpa sadar menebarkan pesona. Seakan menyihir kami yang meskipun berada pada radius cukup jauh untuk menatapnya, dan mengacuhkan sekeliling. Kami tersenyum-senyum, teringat kehebohan kami saat itu yang seolah tak konsisten dengan kesan dan informasi yang kami dapat. Kami masih tersenyum-senyum, bagai duo penggemar yang menanti kemunculan sang idola. Kami kemudian beralih, menatap sisi kanan jauh di depan pada sebuah bangunan kecil dan hanya memiliki satu ruangan yang tengah diramaikan oleh beberapa orang yang tengah berdiri, berteduh disana. Kami bertahan tetap memperhatikan objek tersebut, seakan yakin sosok yang kami perbincangkan secara ajaib akan muncul di sana. Namun tentu saja sosok itu tak kunjung muncul.
***
Aku kerap kali melihatnya berkeliaran, dengan kesibukan yang menurutku selalu ada-ada saja. Entah mungkin memang begitu sibuknya dia, aku tak tahu. Kadang dia disini, kadang disana. Begitu sering berpindah tempat, atau mungkin begitu tertariknya dia bepergian. Padahal dengan badan kurusnya kesibukannya pasti mudah menimbulkan rasa lelah, namun dia justru terkesan tak apa-apa.
Aku tak menyangka mulai saat itu aku tak akan bertemu dengannya lagi. Padahal saat itu seharusnya dia menemuiku, mengambil dokumen berisi kumpulan data yang dia minta pada ku jauh-jauh hari sebelum ini. Namun dia justru tak muncul. Bahkan berhari-hari kemudian pun begitu, tanpa adanya kabar. Hari itu, hari yang menjadi awal ketidak hadirannya...
"Kemana sih ni orang?" gumamku heran, sembari mondar-mandir di depan bangku panjang yang bersusun menyandar ke dinding di sepanjang sisi kiri koridor, berhadapan dengan sebuah ruangan dengan pintu tertutup.
Aku kemudian beralih pada telepon genggam ditangan kananku, tak sabar menanti kabar yang ditunggu tak kunjung muncul. Beberapa saat yang lalu aku sudah menghubunginya, namun tak tersambung. Aku juga sudah meninggalkan pesan melalui sosial media, dan kembali tak digubrisnya.
Ms. R yang duduk di kursi panjang bersebelahan dengan Ms. M menoleh pada ku, "Sabar," menimpali gumamanku meski dia sendiri sudah tak sabar menemaniku yang masih harus menunggu lagi entah berapa lama lagi.
Aku berhenti, lalu menoleh pada Ms. R, kembali mendumel pelan, sedikit kesal. Bukan karena sudah menunggunya satu jam lebih kurang di sini, dan dia belum kunjung terlihat, melainkan karena tidak adanya kejelasan kabarnya membuat menungguku terasa membosankan, hanya membuang energi tak berarti. Padahal hari itu aku sudah membawa berkas yang dia minta, berkas yang menjadi alasanku pada hari malas-malasanku ini tetap rajin ke gedung fakultas hanya demi mengantar padanya, Mr. I. Namun beginiliah jadinya, justru kabarnya yang tak jelas. Aku kemudian duduk diantara Ms. R dan Ms. M setelah tadi kembali berjalan mondar-mandir, dan menenggok-nenggok ke arah ujung koridor.
Dan tak lama, "Duuuh, lama nya!" keluhku bosan.
"Lapaaar…" lanjutku mengeluh seiring dengan telah masuknya waktu makan siang.
"Ya udah makan," sahut Ms. M masih fokus mengamati orang-orang yang lewat, berharap menemukan sosok dosen yang dinanti sedari tadi pagi-pagi sekali.
Aku menoleh sesaat padanya, dan beralih pada dokumen digenggamanku yang ku lambai-lambaikan. "Trus ini?"
"Titip aja, aku masih di sini nunggu dosen," Ms. M berujar diiringi anggukan Ms. R yang sudah merasa bosan, tapi tak punya pilihan lain selain menungguku yang sudah terlanjur dia janjikan pulang bersama.
Aku menoleh pada Ms. M "Ngak ikut makan dulu?" namun dia hanya menggeleng, belum berminat.
"Oke. Nanti kalo dia datang kasih kabar ya!" Aku berdiri seusai menimbang-nimbang.
Ms. M mengangguk dan meraih berkas yang ku angsurkan, sementara Ms. R langsung berdiri tegak, lega penantiannya berakhir. Aku dan Ms. R pun bergerak menjauh meninggalkan Ms. M yang masih duduk disana, melanjutkan semangat penantiannya.
Aku dan Ms. R sudah sampai di sebuah rumah kecil, dimana Ms. R menghabiskan waktunya selain di kampus. Kami telah menghabiskan nasi bungkus yang sebelumnya kami beli pada sebuah rumah makan yang tengah tak begitu ramai saat dalam perjalanan ke sini tadi. Rasa kenyang membuat Ms. R berbaring di kasurnya sembari bermain telepon genggam, sementara aku bersandar pada dinding di sudut bersebelahan dengan sebuah lemari tak begitu besar, juga asyik bermain telepon genggam. Saat itu kos sepi karena sebagian besar penghuninya sibuk dengan jadwal kuliah masing-masing, menyisakan beberapa orang yang memilih bersantai pada ruangan masing-masing termasuk kami. Aku tengah asyik-asyiknya menonton youtube di telepon genggamku, dan Ms. R sudah kembali bergerak setelah sebelumnya jatuh tertidur saat suara langkah kaki mendekat nyaris sampai di depan pintu kamar yang dibiakan terbuka.
Aku menoleh, "Gimana? Ketemu dosennya?" langsung mengajukan pertanyaan beruntun dengan semangat, menyadari siapa yang menimbulkan suara langkah tersebut.
Ms. R yang dari tadi berbaring kini telah duduk masih diatas tempat tidurnya, penasaran akan Ms. M yang berdiri tak bersemangat di depan pintu dan menanti jawaban atas pertanyaan ku yang baru meluncur.
Ms. M menunjukkan wajah lelah dan kecewa. "Ngak."
"Yaaah!" Aku turut kecewa. Lalu aku teringat dokumen yang ku titipkan padanya, "Kalo kak I nya?" aku bertanya penuh harap.
"Ngak ketemu juga," balas Ms. M, kemudian mengeluarkan dokumenku dari tasnya dan melemparnya padaku.
Hup, aku sudah berhasil menangkap dokumen tersebut. Aku bergumam heran, "Kemana sih?" sembari mengetuk-ngetuk pelan dokumen yang kemudian ku letakkan di lantai berdekatan dengan tasku.
"Ngak tau lah." Ms. M berlalu.
***
Aku berjalan di sisi sebuah jalan besar yang berdekatan dengan jalan kecil di kirinya. Pohon yang menjulang di tepi jalan itu seakan memanggilku, membuatku menoleh pada gedung di ujung jalan kecil itu. Kusapukan pandanganku kesana, hingga otomatis mataku terarah pada salah satu jendela di lantai dua. Tak tampak siluet apapun dari sana, bahkan jendela itu terlihat tertutup tak seperti sebelumnya. Jendela itu, jendela yang terhubung dengan kantor kecilnya. Kantor yang merupakan sebuah ruangan yang digunakan khusus suatu lembaga. Kantor itu, kantor yang kini kerap kali kosong karena jarang penghuni disana bersedia berada disana, kecuali dia yang saat itu begitu rajin disana kapanpun itu. Memandang kantor itu melalui bingkai jendela itu membuatku teringat dia, namun dia tak ada lagi disana.
Dia Mr. E, seorang senior yang ku kenal melalui keisenganku mengikuti Ms. L dan Ms. S. Dia yang tampak biasa saja, namun keramahannya dengan mudahnya membuatku menjalin kelancaran komunikasi. Bisnis kecilnya yang unik turut mewarnainya, menunjukkan sosok nya yang kemudian menjadi inspirasi berbagai mahasiswa/i yang kala itu masih jarang berani memulai bisnis secara mandiri.
Aku ingat bagaimana aku merepotkannya melalui bisnis kecilnya yang sangat berjasa itu. Seperti siang itu di kantornya, ruangan yang diapit beberapa ruangan lainnya. Saat itu suasana yang cukup ramai di bagian luar ruangan, berbanding terbalik dengan di dalam yang hanya dihuni beberapa orang. Beberapa langkah ke dalam dari orang-orang yang tengah duduk-duduk lesehan tersebut, terdapat sebuah pintu yang menjadi penghubung pada sebuah ruangan lain dan menjadi bagian terdalam. Dibalik pintu yang terbuka tersebut langkah kaki dan gesekan kertas terdengar, berbaur alunan lembut musik. Kemudian, drrr… bunyi pelan sebuah mesin yang baru memuntahkan beberapa lembar dokumen memecahkan alunan lembut musik dari ruangan sebelah yang singgah mengalir melalui fentilasi di sudut ruangan. Aku duduk berhadapan dengan ujung sebuah meja yang cukup panjang, berseberangan dengan mesin yang masih berbunyi tersebut, membelakangi pintu yang terbuka lebar, dan beberapa orang yang sibuk berlalu lalang. Aku yang seperti biasa merepotkannya dengan pencetakan berbagai dokumenku, kali ini kembali berhadapan dengan tumpukan dokumen. Dokumen tersebut tersebar dari bagian tengah meja terus ke ujung meja yang berhadapan denganku. Dokumen tersebut mulai menggunung, terus bertambah ketinggiannya oleh senior disampingku ini. Dia kemudian duduk pada kursi yang berhadapan dengan posisi tengah meja, seusai mengambil dokumen terakhir yang baru keluar dari mesin tersebut.
Entah bagaimana ide itu muncul. "Rencana selanjutnya apaan?" aku tiba-tiba bertanya sementara tanganku masih sibuk menghitung jumlah dokumen dimeja yang akan segera ku angkut.
"Mengembangkan bisnis," jawabnya pasti, masih sibuk membantuku menghitung jumlah dokumen.
"Hm... hm..." Aku menoleh sesaat, mengangguk-angguk, merasa setuju dengan tanggapannya kemudian kembali sibuk dengan hitunganku.
Dia sudah selesai menghitung dan bersandar pada sandaran kursi yang dia duduki, kemudian dia menoleh pada ku. "Gabung?"
Aku menoleh, "Ntar deh, ngak bakat disitu," kemudian kembali sibuk dengan kertas-kertas dihadapananku. Sementara alunan musik kembali menyeruak berpadu gesekan kertas. Kertas yang kemudian dibagi dalam beberapa tumpukan kecil dan di kemas dalam kotak berukuran sedang yang diletakkan di lantai bersandar pada kaki meja.