Wiy;
Hubbi, maaf baru bisa balas hari ini. Aku baru baca surel darimu. Singkat, tepat, padat dan tegas.
Aku sudah tidak meragukan lagi kesungguhanmu untuk datang ke kampung Sepakat, ke rumahku lebih tepatnya. Oh ya, Hubbi, ada kabar baik nih dariku. Aku sudah pernah coba sekali memasak Gutel, hampir berhasil. Salahnya cuma tiga; pertama gula merahnya terlalu banyak sehingga melimpah keluar saat direbus ketika sudah mendidih. Kedua; aku membalutnya dengan daun pisang, padahal sudah dibilangin pakai daun pandan saja tapi aku tetap ingin experimen baru. Dan Gutel buatanku tidak wangi jadinya, Hubbi. Andaikan saja aku merebusnya pakai daun pandan, pasti Gutel buatanku wangi dan salah masakanku mestinya hanya dua. Ketiga; aku merebusnya cuma sebentar, baru saja mendidih kemudian segera aku turunkan wajannya dari atas tungku dan tentu Gutelnya mudah hancur karena belum keras.
Ternyata aku lebih segera mengerti masak Gutel daripada masak telur. Kalau masak telur aku banyak sekali salahnya. Asik disalahin aja sama guru masakku. Kurang garam lah katanya, gosong lah, kurang lebar lingkarannya, telur mata sapinya terlalu kecil dan lain sebagainya. Kalau disuruh milih aku lebih memilih masak Gutel saja daripada masak telur. Karena memang telur itu menurutku adalah makanan paling manja, istimewa, unik, dan paling kasihan.