Wiy;
Tha, kamu kejam! Aku sudah menyikat lidahku. Kita sudah sama-sama dewasa, Tha. Ada baiknya kita tidak bertengkar seperti kanak-kanak lagi. Ayo kita berdamai, memikirkan masa depan bersama. Ayo menikah, bersama kita membangun keluarga yang samawa.
Kuyakin kamu adalah imam yang baik, taqwa dan berakhlak. Hanya dengan segera menikahlah kita bisa mengakhiri pertikaian ini. Mari kita bersikap dewasa atas masalah yang kita hadapi, Tha, bukan malah mengikuti arusnya. Mari kita lawan ego kita sendiri, kita cegah hal-hal yang menghalangi. Kita satukan niat, bulatkan tekad, ayo kita saling merangkul kesedihan ini menuju kebahagiaan di kemudian hari. Mari kita satukan visi dan misi untuk bersuami-istri melahirkan generasi.
Aku tahu kamu belum memaafkanku sehingga kamu katakan kamu tidak dapat mencintaiku. Kamu tahu, Tha? Rasa cintamu padaku terhalangi oleh egomu yang tidak mau memaafkanmu. Rasa cintamu akan tumbuh lagi jika telah memaafkanku sepenuh hati. Sekali lagi kukatakan, Tha, agar bisa mencintaiku kembali ialah dengan memaafkanku. Kubur lah dalam-dalam rasa sakit hatimu itu. Dulu kamu begitu mudah mengubur rasa cinta dan rindumu di halaman rumahku, namun kenapa amat sulit bagimu mengubur rasa sakit hatimu padaku? Atau jika kamu tidak mau menguburnya, jika kamu belum puas juga, silakan melampiaskannya padaku. Aku siap menanggungya.
Bila nanti aku mati gara-gara menelan rasa sakit karena ucapanmu, ziarah lah ke makamku. Jangan lupa bacakan al-Fatihah saat kamu berada dekat dengan pasuraku. Kita saling mendokan, Tha. Aku pernah dengar dari guru ngajiku bahwa orang yang telah meninggal juga dapat mendokan yang masih hidup. Setelah aku tiada, aku akan tetap mendoakanmu, Tha.
***