Wiy;
Tha, lima belas tahun sudah aku menunggumu, aku masih mencintaimu dan merindukanmu, Tha. Sekarang umurku sudah empat puluh tahun. Bilamana malaikat duluan mencabut ajalku, sudilah kamu datang berziarah ke pasuraku. Ajaklah anak istrimu, kenalkan pada mereka bahwa aku pernah jadi sahabatmu. Nanti saat anakmu si Dewi sudah dewasa, suruhlah ia sesekali membersihkan makamku.
Dalam penantianku ini, tak jemu-jemu kupanjatkan do'a agar aku tidak menunggu seseorang yang sia-sia, meskipun orang yang aku tunggu tak bosan-bosan mengingatkan bahwa penantianku ini adalah penuh kekecewaan dan makin mebuatku terluka.
Aku tidak peduli dengan semua itu. Aku takkan menyerah di tengah penantian. Bagiku menanti seseorang yang tak kunjung datang itu sudah tak melelahkan lagi, aku sudah terbiasa menunggu. Bukankah sejak awal aku mengenalmu aku telah ditaqdirkan untuk menunggumu, Tha? Mungkin mudah bagimu menyuruhku melupakanmu, tapi aku? Takkan semudah itu! Ingin sekali aku berteman dengan angin, kemudian akan kuajak ia bicara. Bila ia tidak mau mengobrol denganku, tidak mengapa. Biar ia mendengar curhatan rinduku saja.