Wiy;
Sudah kuceritakan padamu kabarku, kampungku, masakanku, dengan maksud meghiburmu agar kamu selalu betah membaca surelku. Ya, aku menyebutnya hiburan dan kamu menyebut ceritaku fiksi, Tha.
Mudah aku menceritakannya sebagai dongeng sebelum tidur, tetapi kenapa kamu menganggap bahwa kisah kita ini semacam takdir yang telah digariskan Tuhan, berpisah denganmu adalah takdir. Aku pun setuju. Kucoba berdamai, hadir sebagai dirimu, menyelusup bagaikan air yang mengalir lewat kerongkongan, menyatu di dalam dirimu, meredakan rasa sakit, menghilangkan rasa pedas, memadamkan hatimu yang sedang membara, namun tetap saja gagal, kamu malah memuntahkanku keluar dari dalam dirimu. Kembali aku tersungkur.
Aku belum menyerah, terus mencoba menaklukanmu, ingin kujadikan dirimu sepertiku, bersatu padu bagaikan gula dan madu, manis sekali, mencoba berkata semanis-manisnya didengar oleh telinga dan damai dalam jiwa. Tetapi kamu malah menganggapnya racun, semacam kata-kata mantra yang digunakan oleh sang pemelet, sungguh aku bukan penyihir, aku makhluk Tuhan yang berperasaan, punya kasih sayang dan mudah memaafkan.