Thawiyyah

Daud Farma
Chapter #100

Ana Wa Jauzati

Wah senangnya! Akhirnya aku menikah juga. Akhirnya aku punya suami juga dan penantianku tidaklah sia-sia.

Di dalam hidup ini kita akan sering menunggu orang lain, dan aku menunggu seseorang yang akhirnya menjadi suamiku juga meskipun dia sudah pernah menikah dengan sahabatku sendiri. Tetapi aku tidaklah membenci sahabatku itu, apalagi membenci orang yang sekarang sudah jadi suamiku? Tidak akan!

Tidak mudah bagiku membenci orang yang cintaku padanya sudah bersemi di dalam hatiku. Tidak mudah bagiku membenci orang yang sudah 44 tahun kutunggu dan tidak mudah pula bagiku membenci orang yang selama ini membuatku tetap semangat hidup. 

“Bangun sayangku, ayo sarapan.” Aku membangunkan suamiku dengan kecupan dan mengajaknya sarapan. Telur mata sapi adalah sarapan pagi kami, sesuai janjiku dulu sebelum menikah bahwa telur mata sapi adalah menu untuk sarapan.

Suamiku tidak jarang melarangku agar jangan memanggilnya sayang di depan anak tunggal kami, Dewi. Tetapi aku tidak peduli sebab aku baru menikah sehari, meskipun sekarang umurku sudah 64 tahun. Kenapa aku merasa muda? Sebab memang aku berjiwa muda walaupun kulitku sudah keriput. Ya aku adalah pengantin baru, tidak peduli seisi kampung heran atau cemburu padaku.

Setelah sarapan, kami duduk berdua di teras depan, menikmati udara pagi. Secangkir teh hangat telah aku buatkan dan aku letakkan di atas meja. Suamiku membaca koran dan aku membaca novel. Baru dua paragraf aku membaca, tiba-tiba semacam surprise yang aku dengar dari telingaku sebelah kanan:

“Dik, kamu mau kita bulan madu kemana?” tanyanya. Wah, bulan madu! Senangnya hatiku! Sudah sejak kemarin aku memikirkan akan berbulan madu kemana? Susah juga aku mengatakannya terlebih dahulu sebab itu kan memang seharausnya suamiku yang memulainya. 

“Humm, aku mau kita berbulan madu ke Turkey.” jawabku tersenyum. Kenapa aku memilih ke Turkey? Sebab aku sudah sering jalan-jalan ke sana lewat buku bacaaanku. Ya pikiranku dan angan-anganku yang duluan traveling ke Turkey sementara jasadku masih berbaring di kamarku pada biasanya, dan mataku menatap dan terus membaca tentang Turkey. Aku kagum dengan negeri dua benua itu. Aku telah banyak sekali membaca buku-buku tentang sejarah kota Konstantinopel. 

“Yah, kita sudah tua, Dik, jangan jauh-jauh. Aku tidak sanggup perjalanan jauh Dikku.”

“Tidak apa-apa Abang sayang. Meninggal di Turkey juga tidak apa-apa.”

“Bagaimana kalau kita bulan madu ke Sabang saja sayangku? Bukankah sudah lama sekali kamu ingin ke Sabang? Kan di sana tak kalah indah dengan Turkey, Dikku? Ayo sebutkan apa saja yang kamu tahu di sana?”

“Oh iya, Abangku, aku sudah lama sekali ingin ke Sabang! Hum, aku ingin sampai ke tugu Nol Kilometer Indonesia!”

“Baiklah kalau begitu. Mulai nanti malam siap-siap, kita berangkat besok pagi.”

“Wah yang benar, Abangku? Seriuskah itu?”

“Benar, ya Abang serius, Dikku.” 

“Yeee, terima kasih suamiku.” Aku kecup pipi Tha sebelah kanan, bukan main gembiranya aku!

***

Ini adalah bulan madu keduaku setelah dulunya berbulan madu dengan istri pertamaku. Aku maklum pada Wiy, dia menikah denganku di usianya yang ke 64 tahun, aku kagum dan sayang padanya, ia begitu tulus dan setia menungguku hingga usia senja. Wiy hadir di hari tuaku, sungguh aku membutuhkan kasih sayang istri di hari aku menjelang sakaratul maut. Aku ingin ada istriku di sampingku di saat mataku membelalak menatap Malaikat Ijrail yang hendak mencabut nyawaku, aku ingin kalimat tauhid yang terakhir kalinya aku ucapkan dan aku butuh dibimbing istriku untuk melafadzkannya. Dan aku yakin Wiy mampu membimbingku nantinya. Sepertinya umurku lebih pendek darinya.

Wiy? Istriku? Dia masih berjiwa muda, semangatnya masih membara meskipun fisiknya tidak dapat berdusta bahwa ia adalah perempuan tua, sudah tak asing telingaku mendengar orang memanggilnya nenek. Aku merasakan sekali betapa sayangnya Wiy padaku. Aku yang pecandu teh hangatnya setiap pagi, dia tak bosan-bosan dan tak lelahnya membuatkan teh cintanya untukku. Selain itu, kadang kala tidak bisa aku batuk sedikit saja,

"Ayo ke dokter, Abangku sayang." ajaknya, padahal saat itu memang kerongkongku lagi butuh batuk sebab sedikit gatal, padahal sekali batuk langsung sembuh. Ada kalanya aku sengaja bersin, aku senang bercanda dengan istriku.

“Abangku pilek kah? Butuh air hangat? Ayo ke dokter suamiku. Aku takut kamu kenapa-kenapa, Abangku sayang.” Padahal sengaja aku cabut bulu hidungku di saat matanya sedang fokus pada bacaannya. Ah, aku suka bercanda.

Wiy adalah orang yang super rajin baca buku! Belum pernah kulihat sejauh umurku ada orang serajin dirinya membaca. Saat lagi mengaduk sayur, sempat-sempatnya ia sambil baca. Dan dia kalau baca buku tidak bunyi, namun saat ia mengantuk, barulah ia berbunyi. Kalau dia lagi baca nyaring, aku tidak bisa dekat, aku tidak sanggup ribut. Dan di saat itulah ia membalasku, ia mengikutiku kemana pun aku pergi. Ke ruang tamu? Dia ikut. Aku pura-pura beli makanan ke luar rumah, dia sengaja ikut dan malah dia menawarkan dirinya. 

“Abangku, biar aku saja yang beli Abangku sayang.” katanya. Meskipun umur Wiy lebih tua dua tahun dariku, tapi saat ini dialah yang mengurusku, merawatku, betapa tulusnya kasih sayangnya padaku!

Wiy selalu memanggilku “Abagnku sayang” Sayang? Bukankah panggilan itu untuk pengantin baru? Bukankah kata itu adalah wajar dari seorang istri pada suaminya? Sebagai pengantin baru? Bukankah Wiy dan aku adalah pengantin baru? Bukankah Wiy baru satu minggu menikah denganku? 

Sebelum berangkat, Wiy tidak bosan-bosannya mengajakku ke rumah sakit untuk mengecek kesehatanku, karena pagi ini aku sudah batuk dua kali.

“Ayo ke rumah sakit, Abangku sayang.”

"Tidak usah Dikku, aku baik-baik saja," sahutku tersenyum dan menyakinkannya bahwa aku sehat.

"Ayo, Dikku siap-siap, sebentar lagi kita beraagkat ke Sabang!"

"Ya, Abangku sayang, aku siap-siap dulu. " sahutnya semangat. Meskipun aku rapuh saat ini, aku mesti kuat. Aku harus membahagiakan istriku. Aku ingin selalu melihatnya tersenyum, tawa dan bergembira.

Sepuluh menit kemudian, Wiy sudah siap. Mobil sudah dipanaskan dan kami berangkat ke Sabang dengan supir pribadi kami yang masih muda, kuat dan tangguh. Semua ini, perjalan jauh ini, tidak lain ialah untuk kebahagiaan bersama, untuk istriku lebih tepatnya. Sebab aku sendiri sudah pernah dulunya ke Sabang dengan istri pertamaku. Sepanjang jalan, Wiy tidak henti-hentinya muntah di dalam mobil. Maklum, istriku belum pernah pergi jauh, maklum saja bahwa jalan Kuta Cane-Belang Kejeren-Takengon-Banda Aceh penuh tikungan patah, dan supir kami lumayan balap padahal banyak jurang nan tinggi, padahal sudah diingatkan istriku Wiy.

Lebih tiga belas jam lamanya perjalanan, kami pun sampai di pelabuhan Ulee Leue. Kami membeli tiket untuk tiga orang dan satu mobil. Kami naik ke atas kapal Feri menuju pelabuhan Balohan, Pulau Weh. Kami berdiri di pinggir pagar kapal. Harga tiket untuk satu orangnya tidaklah mahal, hanya dua puluh lima ribu saja. Dua jam lamanya aku di atas kapal ini dengan istriku tercinta.

"Wiy, Dikku, kamu mau melihat ikan?" tanyaku menawarkan.

"Mau." sahutnya bahagia. Aku pun menyuruhnya menaikkan kedua kakinya di atas tiang pagar nomor dua dari bawah.

"Aku takut."

"Jangan takut sayangku, aku memegangimu erat," dia pun menaikkan kedua kakinya dan aku berusaha kuat memeganginya dari belakang.

"Bagaimana? Sudah lihat ikannya?"

"Belum, belum kelihatan Abangku sayang." Wiy benar, memang ikannya tidak kelihatan. Tadi aku hanya menggodanya agar ia berani berdiri di atas pagar untuk melihat laut yang luas nan indah sembari dimanjakan angin laut.

"Aku merasa terbang Abang sayang, seperti film Titanic, hanya saja kapalnya tidak terlalu besar." katanya tertawa bahagia.

Lihat selengkapnya