Kegemuruhan mereda tergantikan riuh rendah suara derap langkah kaki para warga desa yang berlarian ingin menyelamatkan diri. Sebagian pelataran telah hancur dipenuhi puing bangunan yang roboh akibat gempa sebelumnya.
Bola batu berselimut sihir api membara, tertanam di beberapa titik. Ukurannya cukup besar sampai mampu meninggalkan ceruk dalam pada permukaan tanah.
Lidah api menari-nari menjilat tembok serta atap rumah. Kepulan asap pekat berumbung tinggi, menyusup ke lubang penghidu setiap kali bernapas hingga dada terasa sesak.
Alden sebagai ketua penjaga desa memiliki tanggung jawab yang harus dipenuhi. Dia segera memisahkan diri beralih ke puncak gunung dimana penyerangan terjadi. Setelah memastikan keluarganya ikut tim petualang—mereka sebelumnya tengah melancong—yang berkawal untuk jalur evakuasi.
Bocah lelaki bermata keemasan itu secara spontan menarik dirinya menjauh di tengah perjalanan. Celia terpaksa ikut berhenti tanpa melonggarkan genggaman tangannya sedikit pun. "Lucas, ada apa?"
Lucas menggeleng lalu bergumam. "Tidak bisa ... bagaimana dengan ayah?"
"Ayah akan baik-baik saja, dia pasti akan kembali."
"Lalu jika tidak?"
Sevin menggoyangkan bahu adiknya kasar. "Jangan berkata hal buruk! Kita harus selalu percaya dan berdoa kepada dewa-dewi untuk keselamatannya!"
"Nyonya, kita tidak bisa membuang banyak waktu." Tegur salah satu pemuda dari kelompok tersebut, Gabriel. Bagaimanapun dia hanya ingin membalas budi kepada Alden, guru berlatih pedangnya sejak kecil. Maka sudah tugasnya menjaga mereka tetap aman sampai ke tempat perlindungan.
"Aku harus pergi menyelamatkannya!" pekik Lucas sambil menghentakkan tangannya hingga terlepas. Dia berbalik arah lalu berlari sekuat tenaga menerobos hawa panas lautan api disekitarnya.
"Lucas!!!"
Gabriel ingin mengejar namun ada dua nyawa wanita bersamanya yang tidak mungkin dia tinggalkan begitu saja. Celia beringsut lemas, tempurung lututnya mendadak hilang kekuatan. Tangis pun pecah seiring sang putri memapah tubuhnya untuk kembali berdiri tegak.