Eileithya, 4121
Pagi mendidih. Kenyataan menyiksa dalam raga. Menyisakan lubang kekecewaan yang teramat besar. Aku meringis menahan sakit diwajahku. Panas dan perih rasanya. Entah kenapa kali ini aku diam saja, padahal biasanya aku sudah berontak.
Humph, pagi ini aku memang gagal untuk melakukan apa yang ayahku inginkan. Pagi ini aku lebih memilih menghadiri acara sekolah untuk foto kenangan dan wisuda siswa daripada mencelakai dua orang pengusaha besar saingan ayahku. Aku juga sudah malas untuk menuruti semua perintah-perintah kotornya. Aku ingin hidup lebih normal seperti kebanyakan orang, seperti dulu ketika ibuku masih hidup.
Namun, apa hendak dikata? Ibuku meninggal lima tahun yang lalu. Sedih sekali rasanya, apalagi melihat ayahku yang semakin hari semakin kotor pekerjaannya. Aku benar-benar sudah muak karena tingkah ayahku.
"Apa yang kau mau?" Tanya ayahku dengan tatapan tajam.
"Aku ingin kebebasan dan hidup normal!! Aku sudah muak dengan kehidupan di rumah ini!" Teriakku dengan keras.
Sepertinya aku tahu ayah akan marah besar padaku. Aku mengusap dahiku yang penuh keringat. Saat itulah tanpa sadar,
Pllaaaakkk.....!
Sebuah tamparan keras mengenai wajahku. Aku jatuh terduduk di atas lantai. Rasanya pipi kananku mati rasa. Ngilu merembet ke seluruh wajahku.
"Kamu bilang mau bebas? Kamu bilang mau hidup normal? Kamu itu tidak normal!!!"
"Kamu hanya ditakdirkan menuruti perintahku untuk membunuh orang! Bahkan kamu tak punya teman sama sekali di sekolah, kan?" Teriaknya padaku.Rasanya kesal sekali dengan kata-kata itu.
Pandanganku mulai berubah menjadi merah, sampai aku bisa melihat di mana semua titik kelemahan fisik ayahku. Aku sadar mataku menjadi berwarna merah lagi.
"Kalau kau mau hidup bebas pergilah!! Aku tidak butuh kamu lagi! Seharusnya aku tidak pernah mengizinkan istriku mengambil bayi tanpa orang tua dari rumah sakit sialan itu! Pergi dari rumah ini! Dasar anak bermata iblis!!!" Katanya dengan nada kasar.
Aku benar-benar tidak terima, ayah telah mengataiku anak bermata iblis. Emosi mengambang di ubun-ubunku. Dengan cepat aku langsung mencengkram kuat-kuat pergelangan tangan kiri ayah lalu mematahkannya.
"Aarrrggghhhh.....dasar anak sialan! Dasar iblis bermata merah!" Teriaknya sambil berlari menjauh dan menatapku dengan tajam dari kejauhan.
"Aku akan pergi dari sini sore ini juga! Aku tidak mau menerima perintah dari orang busuk sepertimu! Aku tak akan pernah kembali!" Teriakku puas dengan luka di tangannya itu.
*****
Namaku Ferrenica Venus Camelia, di rumah aku sering dipanggil Venus oleh ibuku sedangkan ayah memanggilku Ferre seperti kebanyakan orang memanggilku. Aku adalah putri tunggal dari sebuah keluarga besar. Ayahku bernama Marlon Alexandrea dan ibuku bernama Shasya Saraswati.
Aku memanglah seorang anak angkat. Aku diambil dari sebuah rumah sakit di daerah kota. Tidak ada yang tahu siapa ibu kandungku. Katanya, ibu kandungku tidak memiliki identitas warga negara asalnya. Ia pergi begitu saja setelah melahirkanku. Hingga akhirnya aku diambil oleh keluarga pengusaha besar yang kaya raya.
Tidak ada peninggalan apapun dari ibu kandungku kecuali kalung perak dengan bandul terlalu besar untuk seorang bayi. Bandul kalung itu memiliki dua warna, hitam dan putih, warna hitamnya hampir menyelimuti seluruh bandul yang berbentuk koin itu.
Namun, warna putih mencegah warna hitam menguasai bandul itu. Karena itu, warna putihnya hanya sedikit dibagian tepi dengan membentuk pola bulan sabit. Di bagian tengah kalung itu ada cekungan yang berbentuk bintang. Aku yakin kalau seharusnya ada sesuatu di sana mungkin seperti permata atau semacamnya yang hilang dari bagian itu.
Ibu angkatku sangat menyayangiku, tapi ayah angkatku tak pernah menyayangiku sama sekali. Aku terpaku menatap bayanganku pada cermin. Aku menyelesaikan lamunanku dengan menangkupkan kedua tangan ke wajahku.
Siang ini aku harus pergi dan mendapatkan rumah untuk kutinggali. Aku menggigit bibir bawahku, lalu melangkah keluar dari rumah mewah di mana aku dibesarkan. Bisakah aku melewati ini semua sendirian? Aku bahkan menolak uang dari ayah.
Tujuan utamaku adalah taman kota, di sana aku yakin tidak akan ada yang mengganggu karena hari ini adalah hari kerja. Aku menaiki taksi yang kupesan tadi untuk mengantarku ke taman kota.
Sampai di sana, aku duduk di sebuah gazebo dan mengeluarkan laptopku. Peradaban telah berubah. Namun, sama saja. Negeri ini, Eileithya juga masih bangun dari keterpurukan. Orang-orang dewasa tengah memperbaiki segalanya.
Kuhela napas perlahan, inilah salah satu pekerjaan kotorku. Kalian bisa menyebutku dengan apa saja hacker, peretas, atau bahkan pencuri. Aku mulai meretas kode-kode keamanan sebuah bank milik negara yang letaknya jauh dari kota ini.
Peluh mulai menetes di pelipisku. Kode keamanan bank milik negara lebih rumit. Namun, tak lama kemudian aku mulai tersenyum lebar dan mulai melemaskan bagian badanku yang kaku.
Aku meregangkan badanku ke kanan dan ke kiri. Sesekali ku lirik monitor laptopku. Angka terus mengalir dengan cepat ke dalam rekening rahasiaku. Alirannya begitu deras sampai mataku berbinar-binar.